HeaderBundaLillah

Di Bawah Langit Mekah

3 komentar

Di Bawah Langit Mekah

 

Dengan langkah tergesa, Hajar muda berusaha menjejeri langkah kaki suaminya. Letih sudah teramat sangat ia rasa. Perjalanan dari Hebron sudah mereka mulai sebulan lalu. Purnama telah berganti dan kini bergayut manja di langit keperakan. Angin malam mulai terasa semakin dingin. Hajar merapatkan kain yang menutupi kepalanya. Mereka masih berusaha mencari tempat untuk beristirahat.


“Sepertinya ada api di ujung sana. Ayo bergegas, Hajar! Bayi kita sudah mulai kedinginan.” Terdengar suara berat suaminya.

Ah, sebenarnya bayi ini memang masih terlalu kecil dibawa berjalan jauh. Tapi Hajar harus mentaati suaminya. Ia tahu ada kehidupan yang lebih baik menantinya. Tak mungkin selamanya ia bertahan dalam kecemburuan Sarah. Segera ia kembali mempercepat langkahnya. Dan benar saja, di sana ada perkampungan kecil yang terlihat menawarkan kehangatan. Ia bersyukur, membayangkan ada makanan dan minuman yang akan mengisi perutnya.

“Alhamdulillah Ismail sayang, air susu Ibu akan kembali terisi penuh di sini. Kamu bisa minum sepuasnya,” ucap Hajar sambil tersenyum menatap wajah meneduhkan di hadapannya. Di rumah seorang ibu tua ini mereka akan menginap sebelum esok kembali melanjutkan perjalanannya.

===

Dalam kondisi mengantuk, Hajar berjalan. Hampir saja ia menabrak suaminya yang tiba-tiba berhenti di sebuah lembah. Di hadapan mereka terlihat ada sebuah pondok tua yang sudah tidak terpakai. Atas perintah Allah, malaikat yang menyertai mereka meminta Ibrahim berhenti di sana. Tidak jauh dari pondok itu, ia melihat gundukan lebar di tanah. Inilah pondasi rumah Allah, ujarnya dalam hati.

Tak lama, ia pun harus pulang ke Hebron di tanah Syam. Kewajiban berdakwah sudah menantinya. Dengan hati yang patah, Ibrahim menatap Ismail yang sedang asyik tertidur di pelukan ibunya. Bagaimana tidak? Dia harus berpisah dengan anak yang baru saja ia dapatkan setelah puluhan tahun menanti. Tapi ia tahu, inilah takdir yang harus dijalani.

Hajar terbangun saat Ibrahim menyentuhnya.

“Aku harus kembali,” suaranya terdengar sendu. Hajar menatapnya tak percaya. Dia melihat sekeliling tempat itu, inikah tempat yang akan ditinggalinya sekarang? Tidak ada siapapun di sana, bahkan tanaman pun tidak, hanya tanah gersang dan bebatuan. Hatinya jeri seketika.

Ia melihat Ibrahim sudah berjalan menjauh setelah mencium dan memeluk Ismail. Kakinya seakan terpaku tak bisa mengejar suaminya. Ia hanya bisa berteriak,

“Wahai kekasih Allah, apakah ini kehendakmu atau ini perintah Allah?”

Tanpa membalikkan badan, Ibrahim menjawab,”Ini perintah Allah, wahai istriku.”

Dengan membusungkan dada, Hajar berkata,”Kalau ini perintah Allah, aku tahu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.”



Bergemuruh hati Ibrahim mendengarnya, ia tahu istrinya adalah wanita salehah yang akan dijaga oleh Allah. Sambil menahan tangis, ia tengadahkan tangan dan berdoa.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

===

Hari berganti dan persediaan air Hajar telah habis. Payudaranya pun mulai kempis. Dilihatnya wajah Ismail yang memerah karena terus menangis. Nalurinya untuk bertahan demi sang anak membuncah. Pandangannya nanar di tengah panas yang terik. Ia mulai berjalan dari bukit Shafa di hadapannya dan terus naik menuju bukit Marwa. Sampai di atas, ternyata tidak ada apa-apa.

“Aku harus kembali, barangkali ada yang terlewatkan di bawah sana,” desisnya pelan. Ia pun kembali turun menuju bukit Shafa. Hingga tujuh kali ia lakukan bolak balik, berusaha melakukan sekuatnya. Saat letih terasa mendera dan peluh terus bercucuran, ia duduk di sisi anaknya yang masih menangis. Hingga tiba-tiba dilihatnya air mulai mengalir dari tendangan-tendangan kecil anaknya ke tanah. Ia pun bergegas menciduknya dan mengisi bejana penyimpanan air miliknya.

“Alhamdulillah, Maha Kuasa Allah dengan segala nikmat-Nya,” ucap Hajar riang sambil tersenyum pada Ismail.

Di sudut lain kota itu, serombongan kafilah dagang melihat burung yang berputar-putar di satu tempat.

“Hei, lihat! Bukankah itu tanda ada air di sekitarnya?” tanya salah seorang dari mereka. Serempak seluruh rombongan melihat ke arah burung tersebut. Wajah mereka semringah seketika. Bergegas mereka memacu hewan yang mereka tunggangi. Tak berapa lama mereka melihat pondok kecil di dekat mata air. Tampak seorang ibu dan anaknya yang masih bayi di sana.

“Wahai Ibu, apakah engkau pemilik mata air ini?” tanya pimpinan rombongan tersebut.

“Mata air ini milik Allah. Kami hanyalah sebab munculnya air ini.” Hajar menjawab tegas.

“Masyaallah, kami adalah kafilah dagang yang kehausan. Bolehkah kami beristirahat dan menggunakan air ini?”

“Silahkan wahai saudagar. Tempat ini semua milik Allah.”

===

Sejak saat itu, setiap kafilah dagang yang melewati Mekah akan singgah, bahkan banyak yang kemudian menetap. Posisi Mekah yang strategis karena menjadi jalur perdagangan, membuat perkembangan kotanya semakin marak.

Di depan pondokannya yang kini semakin baik karena direnovasi oleh para kafilah yang berterimakasih, Hajar menatap langit Mekah. Hatinya menghangat mengingat perjalanan hidupnya yang tidak mudah.

Sebagai anak raja dari Maghreb, ia akhirnya tertawan karena kerajaannya mengalami kekalahan. Raja Dhu l-'arsh yang adalah Firaun ketiga, menjadikannya budak di istana Mesir. Hingga akhirnya ia dihadiahkan kepada Ibrahim dan Sarah yang sedang berziarah ke Mesir. Kecantikan dan kebaikan hatinya membuat Sarah terpikat dan meminta suaminya menikahi Hajar agar mereka memperoleh keturunan.

Semua ia taati sampai akhirnya hamil dan melahirkan Ismail. Sayang, takdir berkata lain. Ia pun harus hijrah ke Mekah. Dari Maghreb ke Mesir kemudian ke Palestina dan kini berakhir di Mekah. Namun, apapun itu, selalu diyakininya sebagai bagian dari kemurahan Allah kepadanya.

Senyum semakin lebar di wajah Hajar saat melihat Ismail yang sedang berlari kecil ke arahnya. Semburat mega memerahkan langit Mekah.

===

Epilog


Hajar tidak pernah tahu bahwa ia adalah perempuan mulia pilihan Allah yang telah melahirkan seorang Nabi. Nabi Ismail yang dikenal sebagai lelaki saleh penuh ketaatan, saat ia menguatkan Ayahandanya yang diminta Allah untuk menyembelihnya.

Hajar tidak pernah tahu, jalan hidupnya menjadi inspirasi manasik haji. Kesungguhannya berjuang mencari air untuk anaknya kemudian disimbolkan dengan kegiatan sa’i. Seluruh umat Islam yang berhaji akan melewati rute Shafa—Marwah. Meski mereka tentu jauh lebih mudah karena terfasilitasi baik.

Hajar pun tiada tahu bahwa tersebab dirinya, kota Mekah kemudian berdiri dan berkembang menjadi pusat ibadah umat Islam seluruh dunia. Bahkan ia tak tahu bahwa makamnya di Hijr Ismail akan diputari oleh seluruh umat Islam setiap tahunnya.

Sekali lagi, Hajar tak tahu, bahwa 4200 setelah doa suaminya yang memohonkan dikirimnya Nabi dari kalangan mereka (Arab), datanglah Nabi terakhir yang paling mulia, Nabi Muhammad saw.



Related Posts

3 komentar

  1. Menarik Bun, aku merasa Baca ini seperti belajar sejarah versi novel. Bisa dibukukan kayak Sibel ERaslan Bun.

    BalasHapus
  2. Masya Allah bun, ini sejarah yang aku yakin nggak akan bikin bosan. Top pokoknya bunda Lillah ini kalau soal bercerita

    BalasHapus
  3. MasyaAllah... Pelajaran sejarah islam dibalut bahasa dan gaya bercerita kekinian yang membuat alur cerita mengalir tanpa terkesan menggurui... Membuat cerita makin indah, dan enak dibaca.. Makasih bunda Lillah

    BalasHapus

Posting Komentar