Sepi ini begitu menggigit, tak kudengar sedikit pun suara di
gendang telinga. Meski telah kutegakkan daunnya, berharap ada hembusan angin,
suara sandal diseret atau nyanyian kodok selepas hujan. Hening....
Kulalui malam-malam sunyi sendiri dalam kondisi sulit tidur.
Berjuang sekuat tenaga memejamkan mata, berharap mimpi akan menghibur, tapi
selalu sia-sia. Orang-orang bilang, semakin tua maka insomnia pun pasti
menyapa. Kuluruskan kaki tuaku, berusaha bangkit dan berharap gemeretak ranjang
akan membuat telinga ini akhirnya bekerja.
Dalam gelap, lamat-lamat kudengar ayam berkokok...
Alhamdulillah, berarti hadir malaikat. Dalam posisi duduk, aku bertayamum.
Ahhh...sudah waktunya kupanjatkan doa. Lupakan sepi, lupakan hati yang kian berkarat
digerus kesendirian.
Allahu Akbar....
===
Lagi-lagi kabar lelayu tersiar di speaker masjid. Satu
persatu teman seumuran meninggalkan fananya dunia. Sudah selesai jatah tugas
mereka di dunia. Kuingat-ingat hanya tinggal aku dan Darto yang tersisa di
kampung ini. Menanti waktu itu, seperti pusaran yang membuatku haru biru.
Terlalu banyak bonusku dari Gusti Allah, pikirku.
Bukan aku menantang ajal, tapi yang kurasa keberadaanku
sudah tak lagi memberi manfaat. Tubuh ringkih ini hanya menjadi beban Ajeng,
cucuku yang tinggal di sebelah rumah.
"Mbah...ayo kita
berbuka!" Suara cucuku terdengar lembut di telinga, tapi berhasil memutus
lamunan.
"Sebentar nduk, Simbah belum
banyak doa," jawabku.
"Simbah nih lho...dari kemarin
doa terus. Doa minta apa toh Mbah?" Ajeng memasang wajah lucu di
hadapanku. Seketika hatiku menggerimis... Anak yang disia-siakan orang tuanya
justru kini menjadi anak yang paling berbakti. Selain merawatku, sejak dua
tahun lalu dia juga merawat ibunya, menantuku yang stroke.
"Simbah doa diberi kemudahan
pulang nduk... ."
"Lho, Simbah kan sudah di
rumah. Maksud Simbah??" Ajeng menatapku nanar, kulihat matanya sudah
berkaca-kaca.
"Simbah mau istirahat
nduk...sudah sepi dunia ini rasanya."
Ajeng langsung mendekapku, isaknya terdengar pelan. Aku tahu
pasti berat untuknya. Sejak kecil hanya aku yang dia kenal. Kedua orang tuanya
berpisah dan ibunya memilih mengadu nasib di luar negeri. Anakku, ayah Ajeng
meninggalkan kami berdua dan tinggal di luar pulau tanpa pernah lagi memberi
kabar.
Beruntung Ajeng tetap bisa sekolah dan kini sudah menjadi bidan, dipersunting pemuda saleh nan gagah dan sekarang sudah memiliki tiga anak. Ahh...tunai sudah rasanya tugasku, jadi aku mau pulang di bulan baik ini.
===
Sepi ini terasa semakin menggigit, tak lagi bisa kudengar
apapun. Bahkan tak lagi bisa kurasakan hangatnya ranjangku...hanya gelap.
Endingnya bikin nyesek bunda... Pinter banget sih pilih diksi indah... Jadi gemes pingin nulis flash fiction lagi deh
BalasHapusBun, ceritanya singkat dam bikin aku nangis.. Cerita ini mengingatkanku pada simbahku juga.. Umurnya sudah hampir 1 abad, berdoa terus dan cerita bahwa teman"nya sudah banyak yg meninggalkan dirinya.. Bahkan adiknya sendiripun sudah ada yg mendahuluinya..
BalasHapusDuh aku ikut merasakan jadi ajeng. Si mbah ini pasti sosok yanh luarbiasa. Bu lillah barokalloh ..
BalasHapusYaah, jadi meninggal nih simbahnya bu, sabar ya Ajeng
BalasHapusInnalillahi wainna ilaihi rajin.. Si Mbah akhirnya berpulang dengan tenang, Semoga si Mbah husnul khatimah ya.
BalasHapuswah penggambaran situasinya cukup detil ya jadi bisa bayangin se sepi apa rasanya yang dirasakan simbah
BalasHapusSemoga doa selalu mendekap orang tersayang untuk terus melambungkan harapan membawa kaki, mata tetap bertasbih. Aaah, seakan berada di plot dan waktu cerita ini
BalasHapus