HeaderBundaLillah

Surat Untuk Sahabat

9 komentar

 

Surat Untuk Sahabat

 

Tidak mudah buat Bunda menuliskan ini, tapi mudah-mudahan tema surat untuk sahabat ini menjadi salah satu cara Bunda melepaskan berbagai rasa di hati. Adalah dia, sahabat sejak kecil yang belum sebulan Allah panggil ke sisi-Nya. Terbaik insyallah ya Cu.

 

Dear Cucu…

35 tahun yang lalu pernah kutanya kenapa kamu dipanggil Cucu. Katamu itu panggilan kesayangan karena hampir saja menjadi si bungsu di keluarga. Wajahmu yang bulat, putih, dengan mata coklat dan rambut agak pirang, membuatmu lebih terlihat seperti perempuan bule daripada mojang Ciamis.

“Sebenarnya aku mah nggak mau masuk pondok, Lil. Cuma diajak Ibu nengok Mamang, tahu-tahu ditinggal pulang.”

Aku tertawa geli mendengarnya, wong mamang kamu itu Kyainya pondok kita. Enak, kalau bosan di pondok kamu bisa main ke rumah beliau. Inget juga dulu beberapa kali, kami diajak main ke rumah Kyai. Rumah di pinggir sungai yang sekarang pun akhirnya terasa sunyi sejak ditinggal Kyai, wafat tiga tahun lalu.

Perjalanan hidup di pondok memang tidak mudah buat kita yang harus terpisah dari orang tua di usia belia. Dari 77 santriwati di awal kelas satu, hanya tersisa 24 orang saja saat kita lulus enam tahun kemudian. Dan kita berdua termasuk pemenangnya. Menangis bersama sambil menatap bintang dari atas lantai empat asrama yang tak beratap.

Layaknya remaja, meski tinggal di pondok, tetap saja kita mengalami pubertas. Menjadi egois, jatuh cinta, terluka kemudian menangis bersama adalah bagian dari cerita kita. Meski rasanya jika diingat sekarang, lebih banyak tawa yang hadir dalam setiap momen kita bersama. Kamu heboh, aku rame…lengkap sudah. Terima kasih Cu untuk banyak warna dalam hidupku karenamu.

Selepas pondok, alhamdulillah kita masih sering bertemu. Kamu tinggal di Ciamis dan kampung halamanku juga di sana. Jadi setiap kali mudik, aku usahakan selalu mampir ke rumahmu. Persahabatan pun terus berlanjut lewat surat juga.

Cu, hidup nyatanya tidak membawa kita pada akhir yang sama. Awal tahun ini, kudengar kamu sakit. Sudah dua bulan tidak lagi beraktifitas. Padahal kamu Nyai di pondok, tidak hanya mengajar tapi juga mengurus segala kebutuhan santri. Tidak terbayang bebanmu selama ini.

Bersyukur aku sempat pulang kampung saat itu untuk menghadiri aqiqah anak ponakan. Kulihat tirus sudah wajahmu. Senyum tetap kau paksa meski aku tahu itu pasti sulit. Saat rasa sakit mendera seluruh tubuh, sekedar menarik bibir untuk tersenyum bukan pekerjaan mudah. Aku tahu karena pernah merasakan hal yang sama, Cu.

Beberapa kali akhirnya kamu tertawa mendengar celoteh kami, teman-temanmu. Sampai suamimu tiba-tiba datang ke ruang tamu.

                “Alhamdulillah keluar juga ketawanya. Sudah lama nggak melihat,” ujarnya sambil tersenyum pada kami semua.

Ya Allah, sontak aku sedih mendengarnya. Benar Cu, istri dan ibu itu adalah pusat kebahagiaan keluarga. Tanpa senyum dan tawa kita, seisi rumah pasti hambar rasanya.

Aku melihatmu tak mengeluh, meski ada beberapa benjolan tak normal di sekitar leher dan pundak. Walau katamu tidak sakit, tapi efeknya ternyata melemahkan tubuhmu. Lemas tak berkesudahan yang membuatmu sulit beraktifitas.

Bulan berganti dan kanker pun menggerogoti tubuh dan jiwamu. Beberapa kali masuk rumah sakit dan masih saja kamu sempat mengkhawatirkan kami yang mengirimkan hadiah untukmu. Itu nggak seberapa Cu, dibanding kebahagiaan menjadi sahabatmu.

Dan jika air mata ini masih saja mengalir selepas sebulan dari kepergianmu, ketahuilah jika kehilangan sahabat berarti hilang pula sebab pahala kita. Tak bisa lagi saling mendoakan, saling membahagiakan, saling menasehati juga berbagi.

Allah sayang kamu lebih dari siapapun mahkluk-Nya. Allah hentikan sakitmu dan jadikan pahala di setiap pedih yang pernah kamu derita. Allah gugurkan setiap dosa dan kembali suci saat menghadap-Nya.

Ribuan orang menyalatimu Cu, berbahagialah atas cinta dan doa yang mereka lantunkan. Aku di sini akan selalu mendoakanmu, berharap kelak bertemu kembali di surga-Nya. Tunggu aku.

===

Duhai Allah, kuatkan kelima anak yang ditinggalkan sahabatku. Jadikan mereka anak-anak solih dan solihah, para pelantun doa untuk umminya.

Aammiien…


Surat Untuk Cucu


Related Posts

9 komentar

  1. Duh, bunda... Tulisannya mengandung bawang ya... Aku jadi ingat sahabatku saat kuliah yang juga telah tiada. Enam tahun bersahabat tanpa pernah sekalipun ada pertengkaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya, layaknya anak-anak...ya berantem, ya baikan lagi, nangis lagi hehehhe

      Hapus
  2. Semoga husnul khotimah yaaa sahabat Bunda. Dari awal udah hampir mewek aja bacanya huhuhu.

    BalasHapus
  3. Semoga nanti dipertemukan lagi di surga ya, Bunda. Aku belum pernah merasakan kehilangan sahabat seperti Bunda. Tapi baca ini rasanya ikutan sedih :")

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu harapannya mbak....
      Semoga Allah wujudkan harapan kami

      Hapus
  4. Benar-nenar persahabatan yang penuh dengan kenangan ya, Bun. Asiknya bisa buat surta untuk sahabat dan saling cerita masa laku yang diingat. Apalagi di Pondok, persahabatan lebih kuat biasanya

    BalasHapus
  5. Sedih bacanya bun, semoga beliau husnul khotimah ya. Saya baca sambil mengingat, kira2 siapa ya sahabat yang bakal takkirimin surat sedalam ini.

    BalasHapus
  6. ya Allah aku merinding bunda ,... semoga mbak cucu mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah atas amal baikbeliau ya .. masya Allah bunda lillah selalu ngena tulisannya ngalir dan deeply banget

    BalasHapus

Posting Komentar