Tidak mudah buat Bunda menuliskan ini, tapi mudah-mudahan
tema surat untuk sahabat ini menjadi salah satu cara Bunda melepaskan berbagai
rasa di hati. Adalah dia, sahabat sejak kecil yang belum sebulan Allah panggil
ke sisi-Nya. Terbaik insyallah ya Cu.
Dear Cucu…
35 tahun yang lalu pernah kutanya kenapa kamu dipanggil
Cucu. Katamu itu panggilan kesayangan karena hampir saja menjadi si bungsu di
keluarga. Wajahmu yang bulat, putih, dengan mata coklat dan rambut agak pirang,
membuatmu lebih terlihat seperti perempuan bule daripada mojang Ciamis.
“Sebenarnya aku mah nggak mau masuk
pondok, Lil. Cuma diajak Ibu nengok Mamang, tahu-tahu ditinggal pulang.”
Aku tertawa geli mendengarnya, wong mamang kamu itu Kyainya
pondok kita. Enak, kalau bosan di pondok kamu bisa main ke rumah beliau. Inget
juga dulu beberapa kali, kami diajak main ke rumah Kyai. Rumah di pinggir
sungai yang sekarang pun akhirnya terasa sunyi sejak ditinggal Kyai, wafat tiga
tahun lalu.
Perjalanan hidup di pondok memang tidak mudah buat kita yang
harus terpisah dari orang tua di usia belia. Dari 77 santriwati di awal kelas
satu, hanya tersisa 24 orang saja saat kita lulus enam tahun kemudian. Dan kita
berdua termasuk pemenangnya. Menangis bersama sambil menatap bintang dari atas
lantai empat asrama yang tak beratap.
Layaknya remaja, meski tinggal di pondok, tetap saja kita
mengalami pubertas. Menjadi egois, jatuh cinta, terluka kemudian menangis
bersama adalah bagian dari cerita kita. Meski rasanya jika diingat sekarang,
lebih banyak tawa yang hadir dalam setiap momen kita bersama. Kamu heboh, aku
rame…lengkap sudah. Terima kasih Cu untuk banyak warna dalam hidupku karenamu.
Selepas pondok, alhamdulillah kita masih sering bertemu.
Kamu tinggal di Ciamis dan kampung halamanku juga di sana. Jadi setiap kali
mudik, aku usahakan selalu mampir ke rumahmu. Persahabatan pun terus berlanjut
lewat surat juga.
Cu, hidup nyatanya tidak membawa kita pada akhir yang sama.
Awal tahun ini, kudengar kamu sakit. Sudah dua bulan tidak lagi beraktifitas.
Padahal kamu Nyai di pondok, tidak hanya mengajar tapi juga mengurus segala
kebutuhan santri. Tidak terbayang bebanmu selama ini.
Bersyukur aku sempat pulang kampung saat itu untuk
menghadiri aqiqah anak ponakan. Kulihat tirus sudah wajahmu. Senyum tetap kau
paksa meski aku tahu itu pasti sulit. Saat rasa sakit mendera seluruh tubuh,
sekedar menarik bibir untuk tersenyum bukan pekerjaan mudah. Aku tahu karena
pernah merasakan hal yang sama, Cu.
Beberapa kali akhirnya kamu tertawa mendengar celoteh kami,
teman-temanmu. Sampai suamimu tiba-tiba datang ke ruang tamu.
“Alhamdulillah
keluar juga ketawanya. Sudah lama nggak melihat,” ujarnya sambil tersenyum pada
kami semua.
Ya Allah, sontak aku sedih mendengarnya. Benar Cu, istri dan
ibu itu adalah pusat kebahagiaan keluarga. Tanpa senyum dan tawa kita, seisi
rumah pasti hambar rasanya.
Aku melihatmu tak mengeluh, meski ada beberapa benjolan tak
normal di sekitar leher dan pundak. Walau katamu tidak sakit, tapi efeknya
ternyata melemahkan tubuhmu. Lemas tak berkesudahan yang membuatmu sulit
beraktifitas.
Bulan berganti dan kanker pun menggerogoti tubuh dan jiwamu.
Beberapa kali masuk rumah sakit dan masih saja kamu sempat mengkhawatirkan kami
yang mengirimkan hadiah untukmu. Itu nggak seberapa Cu, dibanding kebahagiaan
menjadi sahabatmu.
Dan jika air mata ini masih saja mengalir selepas sebulan
dari kepergianmu, ketahuilah jika kehilangan sahabat berarti hilang pula sebab
pahala kita. Tak bisa lagi saling mendoakan, saling membahagiakan, saling
menasehati juga berbagi.
Allah sayang kamu lebih dari siapapun mahkluk-Nya. Allah
hentikan sakitmu dan jadikan pahala di setiap pedih yang pernah kamu derita.
Allah gugurkan setiap dosa dan kembali suci saat menghadap-Nya.
Ribuan orang menyalatimu Cu, berbahagialah atas cinta dan
doa yang mereka lantunkan. Aku di sini akan selalu mendoakanmu, berharap kelak
bertemu kembali di surga-Nya. Tunggu aku.
===
Duhai Allah, kuatkan kelima anak yang ditinggalkan
sahabatku. Jadikan mereka anak-anak solih dan solihah, para pelantun doa untuk
umminya.
Aammiien…
Duh, bunda... Tulisannya mengandung bawang ya... Aku jadi ingat sahabatku saat kuliah yang juga telah tiada. Enam tahun bersahabat tanpa pernah sekalipun ada pertengkaran.
BalasHapusKalau saya, layaknya anak-anak...ya berantem, ya baikan lagi, nangis lagi hehehhe
HapusSemoga husnul khotimah yaaa sahabat Bunda. Dari awal udah hampir mewek aja bacanya huhuhu.
BalasHapusAmmiin....terima kasih ya mbak
HapusSemoga nanti dipertemukan lagi di surga ya, Bunda. Aku belum pernah merasakan kehilangan sahabat seperti Bunda. Tapi baca ini rasanya ikutan sedih :")
BalasHapusItu harapannya mbak....
HapusSemoga Allah wujudkan harapan kami
Benar-nenar persahabatan yang penuh dengan kenangan ya, Bun. Asiknya bisa buat surta untuk sahabat dan saling cerita masa laku yang diingat. Apalagi di Pondok, persahabatan lebih kuat biasanya
BalasHapusSedih bacanya bun, semoga beliau husnul khotimah ya. Saya baca sambil mengingat, kira2 siapa ya sahabat yang bakal takkirimin surat sedalam ini.
BalasHapusya Allah aku merinding bunda ,... semoga mbak cucu mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah atas amal baikbeliau ya .. masya Allah bunda lillah selalu ngena tulisannya ngalir dan deeply banget
BalasHapus