Sebab mencinta, aku ada...
Dan seketika kau menjadi cinta pertama
Dengan segenap hati kau semai asa
Meski aku belum lagi berkata
Hidup kita terlalu berwarna
Lalui setiap fragmen dengan tawa
Meski ditingkah segelintir airmata
Tapi kutahu kau selalu ada
Jika kemudian...tanpamu adalah hampa
Saat gagahmu tak lagi bernyawa
Kemana lagi kan bersandar ini jiwa...?
Menerjang rintang yang tak berjeda
Bapak....
Sekedar melintas bayangmu saja
Berbulir pipi terkenang cinta
Cinta tanpa pamrih yang kau hela
Maafkan gadis kecilmu, hanya mampu merajut doa
Kelak, kulihat kembali senyummu di surga
Empat puluh tahun adalah masa yang panjang, yang telah Allah beri untuk aku bersamamu. Maka merangkai kembali puzzle kenangan dalam rentang itu adalah memeras otak mencari remah-remah tersisa. Terlalu banyak untaian yang harus aku rapikan, meski katamu tak banyak yang bisa diingat tentangku...
Yang aku tahu pasti, kamu adalah cinta pertamaku. Sejak aku membuka mata dan mampu melihat dunia, maka suaramu yang pertama kudengar di telinga. Tapi maaf aku lupa itu seperti apa dan bagaimana cintaku kemudian berubah menjadi kebanggaan.
Siapa yang tidak bangga memilikimu di sisiku?!
Laki laki tinggi besar dengan kulit bersih dan kumis memikat. Langkah tegap dan suara menggelegar serta kepribadian yang kuat.
Apalagi saat semua orang tahu bahwa kamu adalah penceramah hebat, hhhmmm dulu teman-temanku juga kerap kali iri.
Makin cinta saat aku harus masuk pondok. Duh, rindu nian aku padamu.
Terimakasih sudah menghadiahkan kertas surat, amplop dan lusinan perangko untukku kala itu. Maka tak pernah bosan setiap hari aku menulis untukmu, meski hanya sekedar pengusir resah karena tak lagi bisa melihatmu setiap hari.
Tahukah kamu, dulu surat-surat balasanmu untukku selalu dibaca teman sekamar di asrama.
Jadi kalau sudah ada pengumuman aku terima surat, mereka selalu bertanya dengan antusias, apakah itu darimu??
Malah beberapa puisimu dicontek abis kakak kelas buat ditempel di majalah dinding mereka. Aihhh, senangnya aku saat itu.
Aku tahu kamu sibuk, tapi kedatanganmu selalu aku nantikan. Kamu nggak pelit, apapun dibelikan untukku. Makan juga nggak boleh di pondok, katamu seperti makanan di penjara. Lha iya, kan anakmu tinggal di penjara suci, eaaaa.
Sejak itu kita rajin wisata kuliner ya Pak. Ayam bakar samping bioskop tua deket bakso An Nahl jadi favorit kita, sayang sekarang sudah tidak ada. Padahal manisnya ayam masih kurasa. Sesekali kita makan sate di Keprabon atau nyicipin soto Kediri. Dasarnya kita memang doyan makan ya..
Maaf ya, terlalu banyak meminta, padahal kamu jarang marah ke aku. Sekali-kalinya aku hampir kena pukul, gara - gara ada teman lelaki yang telpon. Aku tahu kamu cemburu dan takut Allah marah. Awalnya aku menolak diperlakukan posesif, tapi kini aku menyadari itu bentuk cintamu.
Sebesar itu cintamu hingga selalu menyediakan mahram selama enam tahun aku di pondok. Di awal masuk, selain aku, ada kakak perempuan juga paman bungsuku. Mulai tahun ke tiga, adik dan kakak lelaki pun masuk pondok. Jadi meski jauh dari rumah, selalu ada yang menemaniku.
Terima kasih Pak untuk semua yang telah engkau berikan. Bahkan mengalirnya darahmu di tubuhku adalah kebanggaan buatku.
Allahummaghfir lahu...warhamhu...wa 'aafihi wa'fu 'anhu
Posting Komentar
Posting Komentar