HeaderBundaLillah

Cengkram Sopla di Hutan Cirancah, Bag. 1

2 komentar

 

Cerbung



Baru saja para santri turun dari masjid saat terdengar teriakan marah yang sangat keras dari arah Darul Ulum. Serentak mereka lari ke sumber suara, tapi sayang, di lorong menuju kelas itu mereka dihadang beberapa pengurus IST dan diminta segera kembali ke kamar untuk tadarus. Fyi, Pengurus IST itu sama dengan pengurus OSIS di sekolah umum.

Dengan wajah penuh tanda tanya, mereka berbalik menuju kamar. Beberapa sibuk kasak kusuk memprediksi apa yang sedang terjadi. Tanpa mereka ketahui, bahwa salah seorang dari mereka sedang berjuang melawan dirinya sendiri.

Di lapangan depan kelas Darul Ulum, Fajar terlihat mengamuk. Dia berteriak, menggeram dan mengeluarkan sumpah serapah. Matanya nyalang, merah dan penuh amarah. Dadanya naik turun dengan cepat meledakkan sesak yang terasa berat. Keringat makin banyak bercucuran dan membasahi gamisnya.

    “Roaaaarrrrrrr….!!”

Tiba-tiba dia mengaum, mengagetkan para ustaz dan pengurus yang menghadapinya. Jeri terpampang di semua wajah orang di sekitar Fajar. Baru kali ini mereka melihat reaksi rukyah yang sangat menyeramkan.

Ustaz Sulayman kembali mendekati Fajar dan membacakan ayat-ayat ruqyah dengan suara lantang. Ini harus segera diakhiri jika tidak ingin mengganggu proses belajar para santri.

Fajar bereaksi kembali dan hampir saja memukul jatuh ustaz Sulayman. Bersyukur, para pengurus IST yang rata-rata adalah senior di perguruan bela diri pondok, langsung sigap dan merangsek Fajar. Apa daya, lima orang pengurus tak berhasil bahkan mereka terpental dihajar Fajar.

    “Bukkk…!”

Tiba-tiba Fajar tersungkur jatuh. Ustaz Zaenudin, guru bela diri mereka, memukul telak tengkuk Fajar dari belakang. Ustaz Sulayman segera bangkit karena berhasil lolos dari maut. Hampir saja ia terkena amukan Fajar setelah berhasil merontokkan para pengurus IST.

Fajar yang pingsan segera digotong ke ruang usaha kesehatan pondok. Tubuhnya terasa berat sekali, padahal perawakannya terbilang kecil untuk anak kelas 1 Aliyah. Jin dalam tubuhnya belum berhasil dikeluarkan. Kasihan, tubuh ringkih itu harus menanggung beban yang berat.

Baru enam bulan kakinya menginjak tanah Jawa, tepatnya di kota Budaya. Tapi gangguan-gangguan jin sudah beberapa kali dialaminya. Awalnya yang hanya pusing, kemudian lanjut ke pingsan dan kini bahkan sudah melawan. Fajar sudah letih rasanya, hanya saja entah mengapa ia merasa harus bertahan.

===

Desa Kawunglarang siang itu terasa lengang. Kebanyakan penduduknya masih berada di sawah atau ladang. Ki Gofur baru saja menyelesaikan satu persidangan di kantor desa. Sebagai seorang lebe atau modin desa di masa itu, tugasnya juga meliputi persidangan jika ada yang kemalingan, selain sebagai imam masjid, bengkong sunat, penghulu nikah hingga memulasara jenazah.

Sudah masuk waktu zuhur, Ki Gofur harus azan dan menjadi imam salat. Posisi masjid ada di depan kantor desa, masih berada dalam satu pagar luas. Di samping kantor ada balai desa, tempat berkumpul masyarakat jika ada permasalahan yang harus dibahas, bisa juga jadi tempat latihan menari atau qosidah. Di ujungnya ada puskesmas desa yang sederhana, tapi sangat bermanfaat buat masyarakat.

Dipisahkan jalan utama, tepat di seberang masjid, itulah rumah Ki Gofur. Rumah yang cukup luas untuk ia tinggali beserta 10 anaknya. Kali ini ia harus pulang dulu untuk mandi sebelum kembali berangkat ke masjid. Bersyukur semua hanya berjarak selemparan batu, sehingga saat memudahkan aktivitasnya.

    “Aki Lebe…punteun, boleh saya minta waktu?” Tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya pak Kuwu desa ini.

    “Aya naon pak Kuwu?” Ki Gofur bertanya lembut

    “Anak saya… kesambet, Ki!” pak Kuwu tiba-tiba menangis.



bersambung

 

 

 

 

 

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar