“Sebelumnya kami mohon maaf Pak Dedi kalau jadi begini. Berbagai upaya sudah kami lakukan, sampai doa bersama seluruh santri setiap habis Isya. Tapi menurut kami ini harus dituntaskan di tempat asalnya,” ustaz Sulayman mengawali pembicaraan di hadapan pak Dadan, ayah Rahmat dan pak Dedi, ayah Fajar.
“Maksud ustaz bagaimana? Tempat asalnya itu di mana?” Cecar pak Dadan yang tak lain adalah bapak Kuwu. Sementara pak Dedi hanya tunduk terdiam dengan rasa sedih yang mendalam.
“Ada jin nasab yang ada dalam tubuh Fajar, Pak Dadan. Saya lihat semakin menguat penolakannya di sini. Dikelilingi banyak santri dan tilawah Al Quran di mana-mana, membuat jin nasab ini marah.”
“Jin nasab?” Tiba-tiba pak Dedi mendongak dan bertanya.
“Iya Pak. Mungkin di masa lalu ada nenek moyang Bapak yang bersekutu dengan jin. Nah, jin ini akan terus mengikuti anak keturunan manusia yang mengikat janji dengannya, sampai kapanpun.”
“Astaghfirullahal ‘azhim. Bagaimana bisa Pak? Keluarga kami turun temurun adalah orang tidak mampu. Untuk apa mengikat janji dengan jin?” Pak Dedi menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Itu sebabnya saya menyarankan Fajar dan Rahmat dibawa pulang. Kita bisa memutus ikatan dengan jin ini di tempat dia berada.”
“Sambil Bapak mencari tahu di antara keluarga, barangkali ada yang menyimpan benda pusaka peninggalan. Insyaallah dengan memusnahkannya, itu bagian dari memutus ikatan dengan bangsa jin,” ustaz Zainudin menambahkan.
Tak ada jalan lain selain membawa Fajar dan Rahmat pulang. Padahal tinggal ujian tulis sebelum mereka liburan semester. Tapi peristiwa terakhir saat Fajar memanjat tiang, berbuah naas bagi keduanya.
Rahmat yang tidak tega melihat Fajar mengamuk, berlari dan memegangi tiang sambil membujuk Fajar untuk turun. Ustaz Zainuddin tidak sempat mencegah saat Fajar turun dan justru menyerang Rahmat. Meski akhirnya bisa dipisahkah, tapi Rahmat terlanjur babak belur.
Saat Fajar sadar, betapa sedih hatinya melihat anak majikannya mengalami luka dan patah tangannya. Berkali-kali dia meminta maaf kepada Rahmat sambil menangis. Tapi Rahmat tahu, itu bukan salah Fajar. Dan Rahmat mendukung jika mereka pulang saja.
Rahmat tahu alasan mereka dimasukkan ke pondok selepas menyelesaikan sekolah di MTs Kawunglarang, Ciamis yang ada di kampung halaman mereka. Selain ayahnya yang menginginkan ada keturunannya menjadi ulama, juga untuk mengobati gangguan yang sering dialami Fajar.
===
Perjalanan Solo – Ciamis yang ditempuh selama 6 jam terasa sangat lama bagi Fajar. Hatinya hancur melihat ayahnya yang terdiam sepanjang jalan. Padahal biasanya ayahnya yang periang akan bercerita, mengajaknya ngobrol atau sekedar bernyanyi kecil mengusir rasa jenuh.
Begitu pula pak Dadan dan Rahmat di kursi tengah hanya diam saja. Sesekali pak Dadan menawarkan minum atau cemilan kepada Rahmat. Tapi sekedar itu saja, tidak ada pembahasan apapun yang berarti. Jalan semakin terasa panjang dan Fajar semakin lelah fisik dan batin. Dia pun tertidur dengan hati masygul.
Fajar terbangun saat mendengar suara teriakan tangis di sekelilingnya. Rupanya mereka sudah sampai di rumah. Ibunya Rahmat juga ibunya sendiri sedang menangis melihat kondisi Rahmat. Fajar merasa tersisih, meski tidak ada seorang pun yang menyalahkannya.
Di malam hari beberapa pemuka desa datang ke rumah pak Kuwu. Berkumpul di ruang tengah, ada pak Dadan dan keluarga besar, pak Dedi juga dengan sebagian keluarganya, Ki Gofur juga Haji Saleh. Ada rahasia yang akan terungkap malam ini…
Bersambung
Link Bagian 1 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 2 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 3 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 4 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 5 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Wah..
BalasHapusPenasaran sama rahasianya