Ki Gofur menggenggam tangan Ni Ijah dengan lembut. Dia berusaha menyalurkan keberanian kepada istri yang dicintainya. Ditatapnya wajah Ni Ijah, diberikannya senyum terindah.
“Neng malu sebenarnya karena ini aib keluarga. Meskipun Neng tahu kalau Akang juga pasti pernah mendengar selentingan di luaran sana.” Ni Ijah mulai bicara dengan pelan seolah takut jika dinding ikut menguping.
“Akang pernah mendengar, tapi tidak Akang gubris,” tegas Ki Gofur.
Kemudian mengalirlah cerita yang sebenarnya memang pernah Ki Gofur dengar. Bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya dulu selama 30 tahun menjadi Dipati Rancah, Aki Martadireja bersekutu dengan jin dan menjadikan mereka sebagai khodamnya.
Sebagai Dipati, ia memperoleh tanah berupa sawah dan ladang yang sangat luas. Tentu tak mudah mengurus dan menjaga itu semua. Maka seperti yang juga dilakukan para karuhun, Aki Martadireja pun mengikat janji dengan bangsa jin. Sopla adalah pemimpinnya.
Harimau putih tinggi besar yang siap berkeliling menjaga properti milik Aki Marta. Bukan hanya itu, Sopla juga menjaga seluruh keturunan Aki Marta. Satu waktu saat Ni Ijah kecil pulang dari langgar bersama teman-temannya, tetiba jalanan di hadapan mereka menjadi terang dan mereka pun bisa pulang dengan mudah.
“Tapi Kang, satu hal yang Neng khawatir.” Tiba-tiba Ni Ijah menghentikan ceritanya.
“Apa Neng?” Ki Gofur bertanya dengan rasa penasaran yang sangat.
“Setiap anak pertama dari semua keturunan Aki Marta akan menjadi penerus ilmu kanuragan dan bisa melihat bangsa jin.” Ki Gofur terbelalak mendengarnya.
“Dan itu tidak bisa ditolak Kang.” Sontak Ni Ijah menangis membayangkan anak sulung pertamanya kelak harus menerima itu semua. Hati Ki Gofur bergetar hebat melihat Ni Ijah menangis terisak-isak. Ia tahu kini kenapa dulu Ni Ijah sempat menolak untuk menikah.
“Neng, yakin sama Akang. Kita akan jaga anak kita kelak agar menjadi anak yang saleh. Harus percaya, Allah akan membantu kita, insyaallah.”
===
Hampir empat puluh tahun sejak peristiwa perkenalan dengan Sopla itu terjadi. Dan ya, selama itu pula Ki Gofur dan Ni Ijah berjuang untuk bertahan tidak menyandarkan diri pada khodam peliharaan para karuhun. Mereka harus hanya percaya bahwa hanya Allah tempat bergantung dari segala sesuatu.
Tidak mudah memang memahamkan kepada masyarakat juga keluarga terdekat mereka tentang bahaya syirik ini. Meski seluruh penduduk desa ini beragama Islam, tapi keyakinan mereka kepada Allah masih bercampur dengan keyakinan kepada kekuatan yang lain.
Beberapa keluarga Ni Ijah yang kurang kuat akidahnya, kerap mendatangi hutan Cirancah dan bertapa di dalamnya. Mereka merasa harus memperkuat ikatan janji dengan khodam para karuhun jika ingin tetap menjadi penguasa desa ini. Maka secara turun temurun, nama Sopla tidak pernah surut dari pembicaraan orang-orang.
Ki Gofur menatap Abrar dengan rasa sedih. Anak remaja ini harus menanggung akibat dari kesalahan karuhunnya dulu. Baru saja Ki Gofur bangkit untuk pulang ke rumah ketika pak Kuwu yang tidak lain adalah keponakan Ni Ijah masuk.
“Ki, hapunteun…urusan Abrar saya titip ke Aki yah. Ini barusan dapat telegram dari pondok si Fajar, harus segera dijemput katanya,”pak Kuwu berkata dengan tergesa-gesa.
“Kunaon deui atuh Kuwu? Bukannya anak-anak masih ujian?”
“Katanya Fajar sakit parah, dia jatuh dari tiang tinggi,” tercekat suara pak Kuwu.
“Astaghfirullah, innalillahi..ya Allah,” berkali-kali Ki Gofur menyebut nama Allah
Bersambung
Link Bagian 1 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 2 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 3 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Link Bagian 4 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah
Nah loh??
BalasHapusSodaraan??