HeaderBundaLillah

Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah, Bag. 2

1 komentar

 



Pak Kuwu, sebutan untuk kepala desa di tanah Sunda, adalah lelaki gagah dengan kumis lebat. Tubuhnya tinggi dan gempal dengan suara baritonnya yang khas. Ki Gofur sebenarnya kaget melihat lelaki itu sampai menangis dan jatuh berlutut.

    “Pak Kuwu, sudah..ayo bangun! Malu nanti dilihat warga. Sekarang kita salat dulu, nanti habis salat saya langsung ke rumah Bapak,” ucap Ki Gofur sambil meraih tangan pak Kuwu agar berdiri.

    “Aki lebe nanti jangan kaget yah, kalau lihat anak saya,” sahut pak Kuwu sambil mengusap air matanya. Ia segera berdiri dan merapikan jasnya yang kotor karena menyentuh lantai tadi.

    “Insyaallah Aki mah sudah biasa. Harus sabar kalau diuji Allah.” Ki Gofur menutup pembicaraan sambil segera berjalan menuju masjid. Sudah ada orang lain yang menggantikannya azan. Tapi biasanya mereka tidak berani menggantikan perannya sebagai imam.

Sepertinya kali ini Ki Gofur harus melewatkan makan siangnya di rumah. Padahal tadi pagi Ni Ijah sudah bilang kalau ada kiriman sop gurame dari si Adun. Segera dia enyahkan bayangan lezat itu, ada urusan yang lebih genting harus dikerjakan.

===

Ki Gofur mengelus dada melihat pemandangan di depannya. Abrar, anak ke dua pak Kuwu sedang dalam posisi merangkak dan mengerang seperti harimau. Entah apa yang sudah dilakukan anak ini sehingga mengganggu penjaga hutan Cirancah di desa sebelah.

Ingatan Ki Gofur seketika melayang ke masa lalu, saat pertama kali mempersunting Ni Ijah yang memiliki nama lengkap Khadijah. Ni Ijah orang terpandang di desanya karena kakeknya adalah mantan Dipati Rancah. Kekayaan mereka meluas di seantero kadipaten, meski makin ke sini terus berkurang karena tak lagi berkuasa.

Pernikahan Ki Gofur dan Ni Ijah sebenarnya menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Ki Gofur yang keturunan ulama, turun temurun keluarganya adalah pemegang Lebe desa, menikah dengan Ni Ijah yang keturunan umara alias pemegang tampuk kekuasaan.

Kontras kehidupan masing-masing, justru menumbuhkan ketertarikan dalam hati mereka. Saat Ki Gofur menggembalakan kerbau, Ijah gadis akan duduk bersama teman-temannya di saung di atas empang milik keluarganya. Ki Gofur hanya berani melirik sesekali sambil berpura-pura menyabit rumput.

Meski ada sebagian keluarganya yang menentang pernikahan itu, tapi orang tua Ki Gofur sendiri merestui. Hasil istikharah mereka mendapatkan kemantapan dari Allah, insyaallah dengan bersatunya  mereka akan membawa kebaikan di masyarakat.

Kejutan pertama setelah menikah dengan Ni Ijah adalah saat ia harus berhadapan dengan penjaga hutan Cirancah. Harimau siluman berwarna putih yang tingginya hingga sampai bahu Ki Gofur. Awalnya ia mengira itu harimau asli yang kabarnya masih ada beberapa menempati hutan tersebut. Tapi saat harimau itu bisa menyoroti halaman masjid dengan matanya, Ki Gofur langsung tahu bahwa itu adalah siluman.

Seketika ciut nyalinya untuk kembali ke rumah, harimau itu masih bolak balik di halaman masjid. Gofur muda belum tahu bagaimana menghadapi siluman seperti itu. Mulutnya sudah merapal ayat kursi dan ayat-ayat ruqyah lainnya yang diajarkan Kyai Somad, ayahnya. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar di luar masjid

    “Sopla, kadieu! Ulah ngaganggu incu aing!” Gofur muda tahu, itu suara Aki Martadireja, kakek Ni Ijah.

Dari balik kaca masjid ia melihat Sopla, si harimau siluman mendekati Aki Marta dan tunduk seketika bersimpuh di hadapan Aki. Hati Ki Gofur bergetar dibuatnya, entah ilmu apa yang dimiliki Aki. Yang Ki Gofur tahu, pastilah bukan ilmu kebaikan.

    “Gofur, cing kadieu, ulah waka sieun. Ieu Sopla, nu ngabantuan Aki,” suara Aki menjadi lembut saat menyapanya. Tapi entah apa yang membuat kakinya tidak bisa bergerak, bahkan saat matanya bersirobok dengan mata Sopla, tiba-tiba ia tersungkur pingsan.

Bersambung…

 

 Link Bagian 1 Cengkeram Sopla di Hutan Cirancah 

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar