Sebagian besar orang pasti pernah membuat puisi. Tapi ditantang menulis puisi berantai, bisa jadi tidak banyak orang pernah mengalaminya. Biasanya, yang dimaksud puisi berantai adalah gabungan puisi yang dibacakan oleh beberapa orang. Bisa saja yang membacanya juga adalah yang menuliskannya.
Masih ingat kalau Bunda sedang mengikuti kelas ODOP (one day one post) kan? Meskipun digawangi anak-anak muda, ternyata banyak juga peserta menjelang tua seperti Bunda. Halah, istilah apalagi tuh? 😊
Selama 40 hari kita ditantang konsisten menulis bebas min 300 kata di blog masing-masing. Gampang ya kesannya? Eit, jangan salah! Pekan pertama saja sudah banyak yang gugur, hiks. Ternyata buat istikomah itu memang gak gampang. Ini sudah melewati pekan ke tiga dan jujur, kadang Bunda juga jenuh. But promise is promise, isn’t it?
Nah, setiap pekannya, ada tugas bertema yang diberikan. Kebetulan pekan ke tiga ini tugas kami adalah membuat puisi. Yeaaaay, Bunda suka karena memang mencintai semua yang berbau fiksi. Tukang ngayal katanya. Langsung cus, corat coret sebentar, jadi deh puisi tentang ODGJ. Ups!
Setelah selesai masa penyetoran tugas, ada sesi bedah tugas tentunya. Malam ini kami membedah empat puisi di grup Arswendo Atmowiloto. Ini link-nya ya Mommies, buat obat kepo.
1. Mazidah
2. Monika
3. Ocha/ Fifi
4. Widya
Kritik Sastra
Menurut Wikipedia, kritik sastra adalah salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi suatu karya sastra. Selain menghakimi karya sastra, kritik sastra juga memiliki fungsi untuk mengkaji dan menafsirkan karya sastra secara lebih luas. Kritik sastra biasanya dihasilkan oleh kritikus sastra. Penting bagi seorang kritikus sastra untuk memiliki wawasan mengenai ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan karya sastra, sejarah, biografi, penciptaan karya sastra, latar belakang karya sastra, dan ilmu lain yang terkait,
Salah satu metode dalam kritik sastra puisi adalah dengan membandingkan karya sastra. Selain mencegah plagiasi, kegiatan ini akan sangat membantu penyair pemula dalam menemukan kekhasan dirinya. Selain dari itu, hasil kritik sastra juga membantu pembaca dalam menilai sebuah karya. Jadi pendeknya, sebuah kritik sastra sangatlah penting dalam pengembangan karya puisi sendiri.
Tapi tentu bukan sembarang orang bisa menilai sebuah karya sastra. Apalagi ada yang mengatakan bahwa puisi termasuk karya yang egois. Suka-suka penulis. Oleh karenanya, Bunda hanya bantu membedah dari sisi PUEBI saja. Adapun nilai sastra, akhirnya kembali ke taste masing-masing. Dan menurut Bunda, ke empat puisi teman-teman, oke punya!
Menulis Puisi Berantai
Serunya acara bedah puisi ini justru di akhir. Di saat mata sudah mulai menggelayut minta dipejamkan, kak Saki selaku penanggung jawab kelas kami melemparkan tantangan menulis puisi berantai. Kebayang kan hebohnya. Apakah satu bait awal yang dikeluarkan kak Saki akan bertemu penghujungnya?
Ternyata eh ternyata, metode estafet writing ini dipakai di sekolah-sekolah lho. Bahkan hasil penelitian di sebuah jurnal yang Bunda baca mengatakan bahwa metode ini berhasil meningkatkan kemampuan menulis sastra di kalangan siswa.
Metode estafet writing ini bertujuan agar peserta didik mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Mereka diberi kebebasan untuk mengekspresikan imajinasi mereka dalam tulisan yang dihasilkan bersama teman-teman sekelasnya.
Psst…ini nih hasil tulisan kami.
DIAMUK RINDU TAK BERNAMA
Bintang bergeming mendengar namamu
Parasmu menyilaukan pandanganku
Senyummu menggetarkan jiwaku
Wahai kau yang berwajah elok, siapakah namamu?
Lihatlah pelangi menari
Berlarian di sisi pipi
Merona bagai malaikat bermimpi
Elok tersipu malu mendebarkan hati
Bulan sampaikan rinduku dengan sinarmu
Rindu yang tak berujung
Yang menyiksa ruang dan waktu
Akankah rasa ini tertuntaskan?
Jangan kau sekap mauku
Jangan kau kurung anganku
Biarlah rindu mengangkasa
Menyapa lembut pada wajahmu di seberang sana
Rindu belum bisa tersampaikan
Jarak memisahkan karena belum ada kesempatan
Pertemuan akan datang membawa ketenangan
Merangkul dua jiwa yang saling merindukan
Jika pun mentari membisu
Membiarkan kita berkelindan rindu dan membeku
Cukup satu yang kutahu
Kelak kita pasti berpadu
Tapi, apa pantas aku berharap wahai pujangga?
Aku hanyalah setitik asa yang mampu mendamba
Di dadaku ada gelora yang meletup-letup
Namun, malu aku mengaku bagai bunga yang masih kuncup
Bagus nggak, bagus nggak? Bagus lah, masa nggak! 😅
Boleh komen lho di bawah.
Bisa dirasakan ya, kemajemukan penulisnya. Tidak mudah memang menyatukan isi kepala. Tapi luar biasanya, tetap terjaga benang merahnya. Alhamdulillah.
Salam hangat!
Eh, setelah dibaca ulang... Asik ya 😄
BalasHapusKapan-kapan buat lagi yuk versi lain
Gercepnya bunda memang jossss 👍👍
BalasHapusBagus dong.. 😁
BalasHapusMantap banget nih judulnya ☺👍
aku melewatkan akhirnya, Bun. hihiii. Keren lah kalian yang berhasil membuat puisi bersambung ini
BalasHapus