Mommies, adakah yang tahu kalau tanggal 11 September kemarin adalah hari jadi Radio Republik Indonesia? Yup, kemarin adalah hari jadi RRI ke 76. Sama usianya dengan negeri kita, karena RRI juga menjadi salah satu corong memperjuangkan kemerdekaan saat itu. Sedikit kita kulik bagaimana berdirinya RRI yuk…
Sejarah Radio Republik Indonesia
Mengutip Wikipedia, sejarah radio di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) atau Batavia Radio Society pada 16 Juni 1925. BRV diperdengarkan di Hindia Belanda, tepatnya Batavia, dan menjadi cikal bakal kecanggihan teknologi komunikasi jarak jauh yang membuat terpukau masyarakat saat itu.
Setelah Jepang mengambil alih Indonesia pada 1942, radio-radio siaran Jepang mulai berkumandang. Jepang juga mengakuisisi stasion radio yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda. Tak hanya itu, jawatan radio swasta yang sebelumnya menjamur di era kolonial Belanda juga dibekukan dan disatukan dalam satu komando bernama Hoso Kanri Kyoku.
Pusat siaran radio itu berkedudukan di Jakarta, dan memiliki cabang bernama Hoso Kyoku yang ditempatkan di Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Pada era pendudukan Jepang, siaran radio memiliki fungsi utama sebagai sarana untuk mengampanyekan propaganda Jepang ke masyarakat Indonesia.
Pasca kejadian bom Hiroshima dan Nagasaki, siaran radio Hoso Kyoku dihentikan pada 19 Agustus 1945 yang kemudian menjadi pemicu lahirnya RRI. Tokoh-tokoh yang pernah aktif di radio pada masa penjajahan Jepang menyadari bahwa radio merupakan alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dengan rakyat.
Wakil-wakil dari delapan bekas radio Hosu Kyoku kemudian mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta pada 11 September 1945. Mereka berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon dan diterima sekretaris negara. Dari pertemuan inilah kemudian ditetapkan tanggal tersebut sebagai hari RRI.
Radio, Sahabat Semua
Perkenalan Bunda dengan radio terjadi sejak kecil. Yang Bunda ingat adalah Radio Kayu Manis dengan jinglenya yang khas kemudian tak lama terdengar suara KH Kosim Nurseha memberikan ceramah.
“RKM radio Kayu Manis.. Merdu suaranya, manis bisikannya. Merdu suaranya, manis bisikannya…”
Kalau sudah terdengar jingle itu, Bunda tahu subuh sudah lewat. Waktunya bangun, salat dan bersiap-siap untuk sekolah. Pagi kami adalah aktifitas rutin yang ditemani radio Kayu Manis.
Makin besar, maka sandiwara radio menjadi hiburan kami saat itu. Sandiwara radio Saur Sepuh selalu berhasil membuat kami terkagum-kagum dan makin cinta dengan Paduka Brama Kumbara. Keesokan paginya, apa yang kami dengar malam tadi, beramai-ramai dibahas dengan teman sekolah. Padahal semua dengar, tapi kadang ada bumbu-bumbu yang membuat kami tergelak bersama-sama.
Di era itu, sandiwara Misteri Gunung Berapi juga berhasil memikat masyarakat. Mengusung genre horror, membuat Bunda selalu takut mendengar efek suaranya. Apalagi kalau sudah terdengar lengkingan tawa Mak Lampir. Pernah sekali waktu telat nyuci piring setelah makan malam, alhasil lari ketakutan dari dapur pas mendengar suaranya. Hadeeuh…
Waktu itu radio-radio swasta juga banyak menawarkan program musik. Salah satunya radio Irnusa Ria kebanggaan orang Depok kala itu. Bunda yang masih SD sih belum paham soal kirim-kirim pesan via radio. Tapi berhubung satu kamar sama kakak perempuan yang sudah SMP, jadi suka ikut tuh ngedengerin acara salam-salam itu. Nah, kakak bersama temannya punya nama samaran ‘Dua Camar Biru’. Kalau ada yang ngasih salam buat nama itu, beuuuh….kakak melayang sambil senyum-senyum sendiri.
Radio-radio itu juga suka mengadakan jumpa fans dengan artis di stasiun radio mereka. Waktu itu sempat juga ikut kakak ke Irnusa buat lihat penyanyi Ria Resti Fauzi. Lumayan dapat foto dengan tanda tangan sang artis dan gratis.
Setelah masuk pesantren dan kuliah, jarang sekali bersentuhan lagi dengan radio. Apalagi stasiun televisi sedang jaya-jayanya. Berhubung Bunda juga orang visual, jadi lebih senang nonton TV daripada dengar radio.
Baru di tahun 2005, intens lagi bersama radio, sampai suami bela-belain beli karena Bunda mulai mengisi kajian subuh di RRI Pro 2 FM Bogor. Senang banget punya kesempatan ngisi di radio. Bagaimana kita mengolah suara dan intonasi agar menarik didengar khalayak luas. Karena itulah modal penyiar dan pengisi program di radio.
Faktor Eksistensi RRI Hingga Kini
Di akhir tahun 80-an, hadirnya televisi swasta belum terlalu berpengaruh pada radio. Saat itu baru ada dua televisi swasta dan belum banyak orang yang memiliki televisi berwarna. Namun makin lama seiring menjamurnya televisi swasta, beberapa radio mulai goyah.
Makin ke sini dengan adanya internet, bukan hanya radio yang ditinggal, bahkan televisi setali tiga uang. Stasiun-stasiun radio termasuk RRI pun berbenah dengan mengikuti perkembangan zaman di era digital. Beberapa hal berikut, mungkin adalah faktor yang membuat RRI tetap eksis hingga kini.
1. Separuh penduduk Indonesia tinggal di desa.
Data BPS terakhir menunjukkan bahwa 44% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Sangat kita pahami, bahwa bagi sebagian penduduk desa, radio adalah sahabat yang bisa menemani kapanpun dan di manapun tanpa membutuhkan listrik.
Ah, Bunda jadi membayangkan masa kecil dulu kalau pulang kampung ke rumah Aki dan Nini. Sambil menemani Aki meladang, radio selalu menjadi hiburan. Meskipun Aki mah seringnya denger berita wae…
2. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah generasi X dan Milenial
Yup, generasi inilah yang masih bertemu dengan keemasannya radio. Tapi hebatnya, hasil survey dari Nielsen mengatakan justru generasi Milenial dan Z yang menguasai 57% pendengar radio.
3. Radio menjadi corong kebenaran
Di saat televisi dan media sosial dipenuhi dengan berita gimmick dan prank, maka radio menjadi satu-satunya kanal berita yang diharapkan bisa berimbang dalam memberitakan kebenaran.
4. Program yang inovatif
Selain dari hal-hal di atas, kita tidak memungkiri betapa kreatifnya para penanggung jawab program di radio. Berbagai acara yang inovatif mereka gulirkan.
Bunda ingat, zaman kuliah itu di tahun 90an awal, kita bisa ke stasiun radio dengan membawa kaset kosong. Di sana kita bisa meminta direkamkan ke kaset kita, deretan lagu yang kita sukai dari berbagai penyanyi. Tapi berbayar lho, karena recording itu butuh waktu dan usaha. Bandingkan dengan zaman sekarang yang kita bisa buat playlist sendiri sesukanya.
5. Mampu beradaptasi dengan perubahan zaman
Ini yang paling utama. Puluhan tahun radio-radio berhasil eksis karena mereka adaptable. Kondisi apapun di luaran, mereka mampu mengimbangi.
Saat ini, di masa era digital, radio pun mengeluarkan e-radio. Bahkan program yang sedang naik daun adalah streamingnya.
Masyaallah, sedemikian panjang perjalanan radio republik Indonesia hingga mampu bertahan sampai sekarang. Rupanya tagline mereka juga bisa jadi penyemangat mereka tetap ada. “Sekali di udara, tetap di udara” Selamat Hari Radio Republik Indonesia!
Posting Komentar
Posting Komentar