HeaderBundaLillah

Opini Cerpen dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri

Posting Komentar

 

Tan malaka



Di pekan ke empat ini, pengurus one day one post (ODOP) memberikan tugas yang lumayan menguras otak menurut Bunda. Menulis opini cerpen! Ini satu hal yang rasanya belum pernah bunda buat selama mengenal dunia menulis.

Kesulitan kedua adalah, dua cerpen yang telah ditentukan untuk dibedah dan dibuatkan opini, bukan cerpen kaleng-kaleng. Dibuat dua orang yang luar biasa, bahkan salah satunya adalah narasumber di kelas besar ODOP.

Membaca kedua cerpen tersebut untuk pertama kali, jujur membuat bunda mengerutkan kening harus berpikir dalam. Tapi setelah berulang kali membaca dan tidak juga paham salah satunya, akhirnya bunda memilih cerpen mas Heru Sang Amuwarbumi. Mommies bisa ikut baca cerpennya di sini ya..

Tentang cerita dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri


1. Genre penulisan


Dilihat dari apa yang dituangkan penulis, bunda sungguh tertarik. Menurut bunda ini masuk kategori Historical Fiction, yakni penulisan cerita yang berlatar belakang sejarah. Penulisan dengan genre ini biasanya mengambil latar belakang atau seting dari kejadian nyata di masa lalu, sementara karakter yang diceritakan hanya rekayasa.

Tapi bisa juga berlaku sebaliknya. Latar belakang atau seting cerita direkayasa dengan tokoh yang real di masa lalu. Di kesempatan lain, kadang ada penulis yang menggunakan latar belakang dan karakter yang asli, hanya saja jalan cerita direkayasa.

Membaca cerpen ini, bunda menyadari bahwa semua yang ada di dalamnya adalah nyata. Dari latar belakang hingga tokoh yang ada, tertulis dalam sejarah. Meskipun tidak tersurat nama tokoh-tokoh yang ada, bahkan bunda pun harus mencari di google dengan kata kunci Madigol. Baru kemudian muncul nama Datuk Tan Malaka, sang penulis buku tersebut.

2. Gaya bahasa


Dia terkapar di ujung senapan yang menjadikan tubuhnya tak ubah seperti sarang lebah—penuh lubang, ditembus entah berapa puluh butir peluru. Sesaat sebelum meregang nyawa, air mata membelah sepasang pipinya yang tirus-legam dan mulai keriput. (paragraf 1)

Diksi dan gaya bahasa yang digunakan sangat menarik dan terus mengalir tanpa sekat. Bahkan saat kita tidak tahu nama-nama tokoh di sana, kita masih bisa memahami dengan baik.

Paragraf pertama yang bunda kutip di atas sudah membuat kita terhentak. Rasa penasaran pun membuat bunda harus melanjutkan membaca. Majas yang digunakan pun pas sekali, mengibaratkan orang dengan tubuh penuh lubang peluru seperti sarang lebah. Yah, orang yang dianggap pengkhianat yang akhirnya dibombardir peluru oleh pasukan militer Indonesia.

3. POV


Di awal cerita, penulis menggunakan POV orang ketiga saat menceritakan tentang lelaki yang tak disebut namanya di sepanjang cerita. Hanya sempat keluar panggilan Datuk kepadanya oleh pimpinan pasukan yang mengepung rumah persembunyiannya.

Pada lanjutan ceritanya, penulis justru menggunakan POV orang pertama untuk lebih menggambarkan dramatisasi cerita. Penggunaan kata aku memungkinkan penulis mengulik bahkan hingga isi hati dan pikiran yang orang lain tidak akan tahu.

Menurut bunda, kata aku juga terkesan lebih dekat ke pembaca. Seolah mereka sendiri menjadi pemeran si aku ini.

4. Hikmah cerita


Sungguh hidup seorang Datuk Tan Malaka memang seperti dimainkan takdir. Seseorang yang memiliki kecerdasan luar biasa, terbukti dari tulisan-tulisannya. Dikenal sebagai orang yang berjuang sekuat tenaga untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa, tapi mati di tangan bangsa yang dibelanya. Bahkan mati bergelar pengkhianat.

Stigma itu kejam. Begitu pula yang menimpa Datuk. Sudah menjauhkan diri dari PKI, bahkan menentang kepemimpinan Moeso, tapi warna merah itu terlalu kental melekat. Sungguh sangat disayangkan, meregang nyawa di usia yang masih muda.

Di tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.

Penutup


Cerpen ini sangat layak baca, apalagi bagi para penulis agar bisa menjadi referensi. Mungkin bagi sebagian orang, tema yang diangkat terasa agak berat. Terlebih buat kita yang terbiasa membaca cerpen ringan dengan tema roman picisan. Woooow, memang akan jomplang rasanya.

Masyaallah, tugas ini membuat bunda banyak belajar. Sesekali boleh kita menilai orang, tapi harus terus instrospeksi diri juga. Membuat opini cerpen ternyata mengasyikkan, karena yang namanya opini, pasti akan berbeda-beda sudut pandangnya. Yuk terus belajar!

Related Posts

Posting Komentar