HeaderBundaLillah

Menulis Bukan Pilihan

10 komentar

 

Cerpen

Sebagian orang mungkin menganggap menulis adalah hal yang sulit. Padahal sebagai bagian dari ketrampilan dasar yang harus dimiliki anak, menulis harusnya menjadi hal biasa. Bakat itu hanya 1%, sisanya adalah latihan.

Bunda termasuk anak yang sering minta tambahan kertas saat pelajaran mengarang di sekolah dasar. Punya diari adalah sebuah keharusan hingga awal menikah, selanjutnya sudah tergerus oleh anak dan pekerjaan rumah yang tiada henti. Hehehe

Nah, dalam beberapa challenge, mengapa menulis itu sudah seringkali dijawab dalam bentuk artikel. Supaya gak bosan, kali ini di tantangan pekan pertama, Bunda jawab pakai cerpen ahh... let's check it out!
===

IZINKAN AKU MENULIS


Perempuan itu masih saja berdiri terpaku di depan jendela kamarnya. Hari sudah semakin malam. Sesekali ia rapatkan kembali jaketnya saat angin terasa berembus kencang. Lelaki yang ditunggunya belum juga kembali. Diliriknya sekilas bayinya yang tertidur lelap di atas ranjang, seketika terasa bahagia.

Tak lama ia mendengar suara motor yang khas milik suaminya. Tanpa disadari, ujung bibirnya naik mengukir senyum. Segera ia berjingkat keluar menuju pintu.

“Lho kok belum tidur, Dek?” sapa suaminya lembut saat ia membukakan pintu.

“Aku nunggu laptop Mas,” Aida, nama perempuan itu, menjawab dengan suara pelan.

Setelah menyiapkan minum juga baju salin untuk suaminya, Aida bergegas menggelar sajadah juga meja kecil di samping ranjang. Ia mulai membuka laptop karena ada tulisan yang dikejar deadline.

“Kamu nggak capek, Dek?” tanya Faisal, suaminya.

“Enggak Mas, tadi siang aku sudah cukup istirahat. Mas istirahat saja, insyaallah aku nyusul.” Aida menjawab tanpa memalingkan wajah dari hadapan laptop. Ia berharap tulisannya segera selesai sehingga bisa segera istirahat.

===

Aida sedang asyik bermain dengan Sakha, anak semata wayangnya. Tapi beberapa kali dia mengabaikan panggilan anaknya dan hanya duduk diam scrolling HP. Pikirannya menerawang sehingga sejatinya ia tidak sedang mendampingi Sakha, ia hanya ada di sisinya.

Tiba-tiba Sakha yang sedang bermain di sofa terjatuh hingga dahinya berdarah. Balita itu menangis keras dan mengagetkan ibu juga neneknya yang sedang berada di dapur.

“Ya Allah, Sakha kenapa Nang?” Ibu Aida datang tergopoh-gopoh dari dapur dan segera meraih Sakha dari lantai. Ia menatap Aida yang terlihat panik tapi hanya diam. Aida bangkit dan meletakkan HP kemudian segera mengambil minyak oles untuk luka anaknya.

Tak lama Sakha tertidur karena kecapekan menangis. Ibu memanggil Aida dan memintanya duduk.

“Nduk, ada apa? Ibu lihat belakangan kamu ndak seperti biasanya,” Ibu memang selama ini tinggal bersama Aida. Mas Faisal yang memintanya karena kasihan Ibu hanya sendirian tinggal di desa. Apalagi sebagai anak bungsu, Aida dekat sekali dengan ibunya.

“Ndak apa-apa Bu, kayaknya kecapekan aja.” Wajah Aida menunduk karena malu anaknya sampai terjatuh padahal dia berada di sisi sang anak.
“Nduk, maaf kalau ibu salah. Tapi kamu harus tahu, perhatian utamamu saat ini hanya Sakha. Dia amanah yang Allah titipkan buat kamu.”

“Bu, maaf..aku tahu aku memang salah terkait Sakha. Tapi Ibu juga harus tahu aku sedang mengejar cita-citaku menjadi penulis. Buatku itu kebutuhan, menghilangkan semua gundahku dan aku bisa jadi apa saja saat menulis.” Aida terlihat sedikit kesal.

Ibu mengelus kepala Aida perlahan, dipeluknya anak bungsu kesayangannya.

“Iya Nduk, ibu paham. Sejak kecil kamu memang suka menulis dan ibu sangat mendukung. Tapi jika cita-citamu di masa depan untuk jadi penulis merusak kewajiban rumah tanggamu, ibu kecewa.”

Aida hanya diam tertunduk. Ibunya tidak tahu kalau setiap malam Aida begadang untuk menulis. Itu terpaksa Aida lakukan karena laptop milik mereka hanya ada satu dan selalu dibawa Mas Faisal ke tempat kerja. Mungkin itu yang membuat Aida terlalu letih sehingga kurang fokus di siang hari.

Menulis buat Aida bukan sekedar untuk memenuhi keinginannya menjadi penulis yang dikenal banyak orang. Tapi dia ingin sekali bisa memberi manfaat ke banyak orang lewat tulisan. Apalagi sekarang banyak sekali platform yang tersedia buat penulis. Aida juga mau tulisannya menjadi rekam jejak hidupnya yang masih bisa ditelusuri kelak oleh anak cucunya.

Duh..tiba-tiba hati Aida berdegup kencang. Bagaimana reaksi Mas Faisal melihat Sakha nanti? Mudah-mudahan luka Sakha lekas mengering dan dia tidak rewel, doa Aida dalam hati.

===

Aida bangun pagi dengan kepala berat dan badan remuk seperti habis dipukuli. Sakha demam dan rewel semalaman. Padahal hampir setiap hari dia juga begadang, tapi rasanya tidak seperti ini. Ia berusaha membalikkan tubuhnya ke kanan, pelan-pelan mau bangkit. Tapi malah terjatuh lagi.

Tiba-tiba tatapannya tertumbuk pada bungkusan besar di samping ranjang.

“Buat kamu, Dek.” Suara Mas Faisal yang baru keluar dari kamar mandi mengagetkannya.

Seketika wajahnya kembali sumringah, senyum lebar menghias wajahnya. Pusing hilang dan bergegas ia membuka kotak hadiah itu.

Matanya terbelalak menatap benda di depannya. Ya, laptop keluaran terbaru yang pernah dia review ketika diminta customer.

“Mas, maturnuwun sanget yo…” hanya itu kata yang terucap dari mulutnya.

Faisal melihat air mata bergulir di pipi istrinya. Ia mendekati Aida dan duduk di sampingnya.

“Dek, maafin Mas yah yang sudah buat kamu kacau belakangan ini. Setiap malam, Mas sengaja lembur supaya bisa segera membelikanmu laptop. Mas tahu cita-citamu jadi penulis hebat. Mudah-mudahan hadiah ini bisa membantu kamu ya,” Faisal tersenyum penuh arti kepada Aida.

Seketika Aida memeluk Faisal, bahagia yang terlalu membuncah, membuatnya lupa akan sakitnya. Dalam hati Aida bertekad akan memanfaatkan laptop ini dengan sebaik-baiknya. Harapannya bisa menjadi penulis andal dengan pendapatan yang berlimpah. Terbayang ia bisa memanfaatkan penghasilan yang dimilikinya sendiri untuk membantu orang lain. Mendirikan rumah baca, mengajar pelatihan menulis, tebar buku ke berbagai pelosok daerah…masyaallah, mimpi yang sangat indah dan mudah-mudahan segera terwujud.

***

Related Posts

10 komentar

  1. Masya Allah, Bunda. Baca cerpen ini mau nangis. Soalnya saya juga masih berjuang seperti ini. Ngetik buat blog di HP sambil ngasuh anak dan kadang2 urusan rumah tangga agak terbengkalai. Masih harus belajar menyeimbangkan antara ngeblog sama urusan domestik :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah ke depannya semakin dimudahkan ya mbak...

      Hapus
  2. Hebat Mas Faisal, mau mendukung kegiatan istri.
    Aida pasti semakin cinta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pastinya buuun...
      Alhamdulillah suami yang peka dan peduli

      Hapus
  3. Faisal suami yang keren.. aku syukaaa cerpennya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah...gak banyak ya lelaki seperti itu

      Hapus
  4. Masyaallah, keren Bundaaa. Aku suka cerpennyaa. Mataku sampai berkaca-kaca membacanya🥺🥺

    BalasHapus
  5. Semangat literasi !! Tetaplah menulis hingga nama kita dikisahkan oleh penulis lain ☺️☺️

    BalasHapus
  6. Terus semangat mba, ditunggu tulisan2 berikutnya..☺☺

    BalasHapus

Posting Komentar