“Bruukk…baaak! Mana dia yang namanya Maya?”
Tiba-tiba terdengar suara drum ditendang diiringi serapah marah seorang pria. Seketika warga keluar dari rumah masing-masing dan mendatangi arah suara. Tampak seorang lelaki berkumis dengan tampang menyeramkan berkacak pinggang di depan musala.
Rama keluar dari musala dengan wajah kaget.
“Ada apa ya, Pak? Ini anak-anak sedang belajar jadi terganggu,” tanya Rama dengan sopan,
“Aaaah…peduli setan! Mana yang namanya Maya? Gak terima saya, anak saya diajar orang Buddha!” suara si Bapak masih terdengar menggelegar.
“Pak, coba tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik,” tiba-tiba ustaz Barkah, imam musala itu sudah datang mendekat.
“Pak ustaz ndak usah ikut campur! Emosi saya kalau sampai anak saya nanti diajar yang aneh-aneh.”
“Lha…saya ya harus ikut campur, karena anak-anak belajar kan di musala. Saya yang mengizinkan mas dan mbak itu mengajar di sini.”
Agak lama akhirnya bapak itu mau duduk di bale-bale sebelah musala, tempat Maya dulu mengajar. Sekarang dia sudah bisa pindah ke dalam musala karena sudah menjadi muslimah. Ustaz Barkah, Rama, Maya, Meyda dan bapak tersebut duduk melingkar di bale-bale.
Maya memilih untuk tidak berdebat dan segera mengeluarkan Sertifikat Memeluk Agama Islam miliknya. Di hadapan warga, ustaz Barkah menyampaikan rasa syukur atas peristiwa ini. Dengan kejelasan masalah ini, maka tidak ada lagi keraguan dari para orang tua untuk menitipkan anak-anak mereka belajar di PKBM Kejora.
Tapi Maya sama sekali tidak merasa lega. Ia takut berita kepindahan agamanya akan menyebar dan sampai ke telinga ibunya. Padahal ia sudah dipastikan lulus di UNDIP dan hanya tinggal menunggu waktu untuk berangkat ke Semarang. Maya dan Dian juga diterima di sana dan mereka bertiga sudah merancang apa saja yang akan mereka lakukan sesampai di Semarang nanti.
“Kalau ada apa-apa, pintu rumahku terbuka untukmu, May,” Dian memeluk Maya karena tahu keresahan hati sahabatnya itu. Maya hanya mengangguk pelan.
===
Ada rasa tak nyaman menginjakkan kaki di rumah. Di depan pintu pagar ia buka hoodie jaketnya. Semilir angin menyibakkan rambut indahnya yang dikuncir kuda. Hampir saja dari mulutnya terucap salam sebagaimana yang selalu ia lakukan jika masuk musala tempatnya mengajar.
Sampai di ruang tamu, ia melihat ada yang tidak beres. Mama terlihat sembab habis menangis, Papa berdiri kaku memandangi jendela. Ia juga melihat ada bulik Sekar, adik Mama yang tampak emosi. Maya tahu, inilah pengadilannya. Robbi, kuatkan iman hamba dan jaga lisan hamba untuk tidak menyakiti sesiapa, lirih doanya dalam hati.
“Maya, sini duduk,” suara Mama pelan. Maya duduk tanpa suara.
“Ada yang mau diceritakan ke Mama?” Gaya Mama selalu seperti itu, memancing diskusi. Maya diam, dia tidak tahu arah bicara Mama mau ke mana. Khawatir salah dengan prasangkanya, lebih baik ia tahu lebih dahulu kemauan Mama.
“Bulik Sekar cerita kejadian di musala gang Kantil tadi, betul itu Maya?” Mama terlihat meneteskan air matanya kembali. Akhirnya Maya paham, mereka semua sudah tahu.
“Maaf Ma, Pa,” hanya itu yang keluar dari mulut Maya. Bisa apa dia di hadapan mereka yang adalah orang-orang tercinta. Sampai sebesar ini adalah bukti cinta kasih mereka. Tapi, ia telah memilih cinta Dia yang menciptanya. Cinta yang ia yakini akan membawa cinta lebih besar pada orang tuanya.
“Cuma itu?” sergah Bulik marah. Maya menatap Bulik lembut dan mengangguk.
“Maaf karena Maya gak cerita sebelumnya. Ini bukan hal mudah, tapi Maya sudah memilih. Dulu Mama bilang kalau Maya sudah 17 tahun boleh memilih mau ikut Papa atau Mama. Ini pilihan Maya, Ma.”
Mama menangis hingga terisak, hati Maya pedih mendengarnya. Ingin rasanya ia memeluk Mama, tapi Mama sudah berlari masuk kamar. Papa menyusul Mama dan Bulik keluar rumah sambil membanting pintu. Maya termangu di ruang tamu. Ini waktunya berkemas, ujarnya dalam hati.
Rasanya ia lebih siap jika dicaci bahkan hingga diusir, tapi sikap Mama yang diam malah membuatnya semakin tersiksa. Dengan gontai ia tarik koper keluar rumah, tujuannya langsung ke Semarang. Maya gak mau buat repot Dian atau Meyda meski mereka sudah mengizinkan untuk tinggal di rumahnya. Ia sudah mengantungi alamat muallaf center di Semarang. Katanya sementara bisa transit sambil mencari tempat kos.
Maya tahu, jalan yang akan ia tempuh tidak akan pernah mudah. Maya harus berhemat dengan tabungan yang ia miliki. Sesegera mungkin harus mencari pekerjaan yang bisa disiasati dengan waktu kuliah. Tapi dia yakin, Allah sudah bentangkan jalan bagi siapapun yang mau berusaha. Lebih yakin lagi, bahwa yang ia jalani kini adalah jalan cahaya.
=END=
Posting Komentar
Posting Komentar