HeaderBundaLillah

Menjejak Jalan Cahaya Part 2

Posting Komentar

Cerpen bagian 2

 

           

Angin bulan Januari masih terasa dingin. Hujan sudah semakin rajin menyapa kotanya, membersihkan debu yang menyelinap liar di dedaunan. Maya senang, dia jadi punya alasan untuk memakai pakaian tertutup, meski baru bisa menutup kepalanya dengan hoodie jaketnya. Tapi ia semakin sering memakai rok dan kaos lengan panjang.

Pagi ini ia memiliki janji temu dengan beberapa kawannya, yang sama-sama menggawangi bidang sosial di OSIS sekolah. Mereka punya program baru yakni “SMANSA Mengajar”. Sasaran mereka adalah pemukiman kumuh sepanjang rel dekat stasiun di kotanya. Dari informasi yang mereka dapat, di sana ada PKBM yang masih butuh banyak SDM untuk mengajar.

Di dalam kafe Maya merenung sendiri, alur hidupnya terasa semakin cepat bergulir. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan masa sekolahnya dan harus bersiap untuk melanjutkan kuliah. Meski Mama sudah memintanya untuk kuliah di perguruan tinggi negeri dekat rumah, tapi Maya justru bertekad mau kuliah di luar kota. Salah satu alasannya adalah, dia mau mulai menutup aurat.

    “May, ya Allah..aku kira kamu siapa. Dari belakang kayak akhwat beneran, gak tahunya kamu.” colek Dian.

    “Lha emang aku akhwat bohongan?” kilah Maya.

Dian menatapnya heran dan kemudian tertawa.

    “Oh iya ya, kamu kan perempuan. Tapi…sayangnya gelaran akhwat itu hanya untuk muslimah, May.” Wajah Dian tertunduk karena merasa tidak enak hati.

    “Doain aja aku jadi akhwat beneran,” ceplos Maya santai.

    “Beneran May??” wajah Dian sumringah menatap Maya.

    “Ya Allah, aku sama teman-teman tuh doain kamu terus. Mudah-mudahan kamu benar-benar bisa menjadi saudara kita seiman dan seperjuangan.”

Maya hanya tersenyum sambil memeluk Dian. Tak lama teman-teman yang lain pun berdatangan. Mereka kemudian fokus pada rapat program. Selesai rapat, mereka sepakat untuk survey ke tempat mereka nanti mengajar.

Turun dari angkot, tiba-tiba Maya terpaku menatap gang di hadapannya. Itu gang sempit yang selalu ia lihat dalam mimpinya. Tiba-tiba ia bergidik karena ingatan akan mimpi buruknya. Ada apa gerangan? Ia kira pemandangan yang ia lihat hanya ada di mimpinya, tapi ternyata itu ada, bahkan kini di depan matanya.

    “Kenapa May? Ayo…!” ajak Meyda.

Agak ragu Maya mengikuti langkah kaki teman-temannya. Tiba-tiba lengannya digamit Meyda dan dengan tergesa-gesa mereka berlari kecil. Rumah demi rumah mereka lalui, persis dalam mimpinya, jemuran bergelantungan, anak-anak berlarian dengan riang dan beberapa kali mereka melewati kerumunan anak muda yang asyik menghabiskan waktu dengan bernyanyi diiringi petikan gitar.

Semakin dalam dan akhirnya mereka berhenti di depan musala. Maya kaget ketika mengetahui bahwa kegiatan belajar mengajar akan berlangsung di sana. Dia tahu, hanya muslim saja yang boleh masuk ke dalam musala.

    “Tenang May, nanti kamu boleh ngajar di situ.” Rama menunjuk sebuah bale kecil di sebelah musala. Rama tahu apa yang membuatnya gusar.

    “Syukurlah, kalian mengerti aku,” ujar Maya sambil tersenyum.

Tak lama setelah beramah tamah dengan pejabat setempat berikut para orang tua murid dan guru PKBM Kejora yang lainnya, mereka pun pamit pulang.

===

Bu Ratna memperhatikan tindak tanduk Maya. Sudah beberapa bulan ini perilakunya berubah. Sebagai ibu, ia tahu ada yang disembunyikan anaknya. Tapi yang ia lihat, anaknya semakin santun, makin perhatian dan lebih ceria dari biasanya. Tidak ada alasan baginya untuk curiga. Justru yang aneh saat melihat suaminya tiba-tiba rajin salat bahkan beberapa kali ke masjid. Meski ia pun tahu, tak ada hak baginya melarang. Saat menikah, mereka sudah tahu konsekuensi masing-masing.

    “Ma, minggu ini kayaknya Maya gak bisa lagi ikut kebaktian deh,” tiba-tiba Maya sudah duduk di sampingnya sambil menggelendot manja. Ya, seketika bu Ratna teringat, sudah tiga minggu berturut-turut Maya absen ke vihara.

    “Ada apa lagi, May? Masih sama seperti kemarin-kemarin, urusan SMANSA mengajar?” ada letupan emosi di hati bu Ratna, sebenarnya. Tapi ia berusaha menahan.

    “Bukan Ma, bimbel aku dipindah karena kemarin ada yang libur.”

Bu Ratna heran dengan sikap santai anaknya, biasanya dulu selalu khawatir kalau harus absen dari kebaktian minggu.

    “Aku salah ya Ma?” tanya Maya yang melihat ibunya hanya terdiam.

    “Oh gak, gak apa-apa, Nak. Kamu kan sudah kelas XII, sudah waktunya fokus persiapan ujian,” ujar bu Ratna seraya berdamai dengan hatinya.

    “Tapi jangan lupa, nanti kuliah dekat sini saja. Anak Mama cuma satu kok mau jauh-jauh.”

Maya tersenyum meringis, padahal ia mau kuliah jauh agar leluasa beribadah. Yah, hari Jumat lalu Maya baru saja mengucapkan kalimat syahadat di pesantren milik orang tua Meyda, sahabatnya. Disaksikan beberapa temannya juga para santriwati, Maya mengikrarkan kesaksian cintanya pada Allah dan Rasulullah. Tidak ada satu pun keluarganya yang tahu, bahkan Papanya.

Meski bahagia memenuhi seluruh rongga hatinya, tak dapat dipungkiri ada kesedihan menyelusup di sela-sela itu. Rasa sedih karena harus meninggalkan Mama. Padahal Maya tahu betul bagaimana usaha Mama supaya dia jatuh cinta dengan Buddha. Hebatnya, cara Mama tidak dengan memaksa. Mungkin karena Mama juga guru agama Buddha, sehingga beliau tahu betul bagaimana membimbing. Hanya Maya tak bisa berbohong pada diri sendiri, betapa ia mencintai Islam.

Related Posts

Posting Komentar