HeaderBundaLillah

Lelaki Tanpa Nama yang Kusebut dalam Doa

3 komentar

          

Cerpen Lelaki

     


        “Sudahi ingatanmu tentangnya, dia ndak layak kamu perjuangkan lagi!”

        Masih sangat jelas kata-kata itu terlontar dari mulut Bapak, tiga bulan lalu ketika Mas Lukman memutuskan pergi. Lelaki yang sedang marah itu meninggalkan rumah kami tanpa salam. Ibu menangis di sudut ruang tamu dan menatapku iba.

        Kutatap punggung Mas Lukman yang pergi menjauh. Luka yang tak berdarah di hatiku membuatku tak bisa menangis lagi. Dia yang aku cintai dengan seluruh hati, menyerah pada hubungan kami yang tak juga direstui ibunya. Ada calon yang lebih baik kata ibunya, saat aku datang berkunjung pertama kali ke rumah Mas Lukman. Tak ada senyum apalagi minum yang terhidang. Aku pulang dengan air mata tertahan.

        Setelah pertemuan itu, Mas Lukman masih terus berusaha melunakkan hati ibunya. Tapi ibu bergeming, entah apa alasan sebenarnya di sebalik penolakan ibu. Aku tak berani bertanya, khawatir luka semakin menganga. Saat akhirnya ia menyerah, aku pun pasrah. Mas Lukman pergi dengan marah karena tersinggung dengan kata-kata bapakku.

        “Kamu sia-siakan waktu anakku bertahun-tahun hanya untuk diberi kekalahan!”

        Bapak tidak salah, aku yang salah tidak mempertimbangkan umur yang terus bertambah. Hingga akhirnya kekalahan telak yang aku dapatkan. Aku terlalu egois mempertahankan cinta pertamaku.

===

        “Allah nggak rida dengan jalan yang kamu pilih Dek,” suara mbak Kinanti terdengar lembut di ujung telepon. Mbak sulungku yang paling aku kagumi karena berani mendobrak tradisi di kampung dengan nikah terpisah antara tamu lelaki dan perempuan. Mas Arya, suami mbak Kinanti, anak seorang kyai pengasuh pesantren di Semarang. Sekarang mereka justru sedang tinggal Turki untuk menyelesaikan pendidikan doktoral mas Arya.

        “Nggih Mbak, Kirana menyesal tidak mendengarkan nasehat Mbak. Dibutakan cinta akhirnya nestapa.”

        “Duh, adiknya Mbak emang pujangga. Hati-hati jangan terlalu dalam menghayati peran sebagai orang yang tersakiti. Keluar, jalan-jalan, cari keindahan dunia yang luar biasa. Jangan lupa berdoa minta Allah pilihkan lelaki terbaik.”

        “Doa gimana Mbak? Wong lelakinya belum ada,”sungutku. Mbak Kinanti tertawa lepas.

        “Justru di situ letak keseruannya. Kamu berdoa untuk lelaki tanpa nama, sehingga hatimu netral. Biarkan Allah yang memilihkan Abdullah itu.”

        “Abdullah? Orang mana itu Mbak?” cecarku.

        “Dek, Abdullah tuh hamba Allah!” Oalah, kami pun tertawa terbahak bersama.

        Sejak itu kupinta kepada Allah, menghiba tanpa rasa malu supaya lelaki tanpa nama itu segera dipertemukan dalam ikatan halal denganku. Tahun ini aku genap 28 tahun, usia yang matang untuk menikah. Apalagi adikku sudah memberi kode ingin menikah juga.

===

Duhai kamu yang tak kutahu siapa, aku yakin Allah akan mempertemukan kita, apapun caranya. Di sini aku berupaya untuk memperbaiki diri, kiranya kamu yang akan Allah berikan juga akan sepadan denganku. Aku rida, aku ikhlas dengan pilihan-Mu ya Robb. Engkau sang Maha yang tahu apa yang kubutuhkan.

        Doa itu selalu kuselipkan setelah menunaikan salat hajat. Mas Arya bilang, Imam Hasan al Basri saja nggak malu minta garam sama Allah. Harusnya aku yang meminta pendamping juga jangan malu menyebutkan kebutuhan itu. Betul juga, pikirku. Ah, bersyukur Allah berikan orang-orang baik di sekelilingku.

        Hingga setahun kemudian, mas Arya dan mbak Kinanti yang sudah kembali ke tanah air bilang kalau akhir pekan akan ada lelaki yang akan berkunjung ke rumah bersama keluarganya.

        “Lha kok langsung dengan keluarganya Mbak?” tanyaku penasaran sambil membuntuti mbak Kinanti yang mau menidurkan anaknya.

        “Ya ndak papa tho, biar sekalian mantep,” jawab mbak Kinanti santai.

        “Katanya kalau taaruf itu tukar biodata dulu, terus nazhor (melihat), baru pertemuan keluarga. Ini kok bruk langsung ke langkah ke tiga?”

        “Ya bisa dilewati tho kalau sudah kenal. Wong ini temannya Mas Arya. Kamu tahu tho teman-temannya orang-orang baik.”

        Aku terdiam berusaha mencerna. Satu sisi hatiku bahagia karena akhirnya Allah ijabah penantianku. Lelaki tanpa nama yang selalu kusebut dalam doa, mau datang dalam waktu dekat. Tapi di sisi lain ada rasa khawatir. Bagaimana jika aku yang nggak sreg, meskipun dia orang saleh? Bagaimana kalau ternyata keluarga ada yang tidak berkenan? Pertanyaan demi pertanyaan terus menggelayuti.

        “Yuk, Mbak temani salat hajat. Habis itu tambah dengan istikharah supaya hatimu mantap. Cukup serahkan semua sama Allah. Tugas kamu memperbaiki diri, meminta, sudah terus kamu lakukan.”

        Mbak Kinanti menarik tanganku untuk berwudu. Lathifah, anak Mbak Kinanti sudah tidur.

===

        Hatiku dag dig dug tidak karuan sejak pagi. Aku baru saja berusaha mengalihkan kecemasanku dengan mengajak Lathifah bermain. Tiba-tiba terdengar mobil masuk ke halaman rumah. Mbak Kinanti menggamit tanganku yang semakin dingin dan berkeringat dan berjalan ke ruang tamu. Baru saja sampai di ruang tamu saat aku memekik dan seketika menangis dalam pelukan mbak Kinanti.

        Di hadapanku sudah duduk Mas Lukman dengan wibawanya yang tetap memesona. Bapak Ibu beliau ada di kiri dan kanannya. Ada Laila dan Lubna juga, dua adik kembar Mas Lukman. Mereka semua tersenyum manis kepadaku. Bahkan Ibu kemudian bangkit dan memelukku.

        “Maafkan Ibu ya Nak yang sudah menyakitimu. Kamu adalah mutiara yang selalu Lukman banggakan. Ibu mau kamu jadi anak Ibu, boleh?” tatapnya lembut sambil mengusap air mata di pipiku.

        Aku hanya mengangguk mengiyakan. Sudah jauh-jauh hari kumaafkan dan kulapangkan semua kesalahan orang lain kepadaku. Aku harus membersihkan diri sebelum berani menghadap Allah dan meminta jodoh terbaik pilihan-Nya.

        Dan kalau ternyata jodohku adalah Mas Lukman, cinta pertamaku yang masih meraja di hati meski berulangkali aku meminta lupa, berarti Allah tahu kebutuhan kami. Allah mau selama setahun setelah berpisah, kami saling memperbaiki diri.

        Bertaubat untuk kesalahan menduakan Allah dengan hubungan tidak halal yang kami jalani. Berjanji untuk tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama. Kemudian berdoa dan meminta, tanpa tahu siapa yang akan Allah pilihkan.

        Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Hari itu bukan hanya sekedar sowan keluarga, tapi Mas Lukman langsung meminta khitbah. Pernikahan akan digelar dua pekan lagi. Kejutan Allah memang tiada yang menandingi.

Related Posts

3 komentar

Posting Komentar