Mengikuti sebuah talkshow dengan tema ‘Gaung Kusta di Udara’ di Senin pagi, 13 September 2021, jujur membuat Bunda malu. Ya, sebagai seorang sarjana kesehatan masyarakat, Bunda pikir penyakit ‘jadul’ ini sudah tereliminasi di Indonesia. Nyatanya, kita masih berada di posisi ke tiga se dunia. Wow..
Mendengar kata kusta, sebagian besar mommies pasti membayangkan sesuatu yang menakutkan. Stigma ini makin diperkuat dengan kepercayaan di masyarakat tentang betapa berbahayanya jika berdekatan dengan mereka. Akibatnya mereka dikucilkan dan menjadi orang yang terpinggirkan. Benarkah demikian?
Gaung Kusta di Udara
Era digital tanpa ayal membuat arus informasi mengalir deras. Kadang kita kesulitan memilah berita, mana yang benar dan mana yang terselipkan hoax. Untuk mengimbanginya, setiap kita diharapkan memiliki tingkat literasi yang semakin baik, di antaranya di bidang kesehatan.
Hoax kesehatan yang sering beredar salah satunya adalah tentang penyakit kusta. Kusta disebut sebagai penyakit kutukan, tidak bisa disembuhkan dan perlu dijauhkan. Orang yang terdiagnosa kusta maupun penyandang disabilitas akibat kusta seringkali mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat karena misinformasi yang beredar.
Berkenaan dengan itu, maka NLR Indonesia melakukan kolaborasi dengan kantor berita radio (KBR), menyelenggarakan sebuah talkshow pagi yang dipandu oleh mas Rizal Wijaya dan mengangkat permasalahan kusta. Narasumber acara ini adalah dr. Febrina Sugianto selaku Junior Technical Advisor NLR Indonesia dan mbak Malika sebagai Manager Program & Podcast KBR.
Oh ya, acara ini juga diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Radio Republik Indonesia ke 76 yang jatuh di tanggal 11 September 2021. Meski tema yang diusung tahun ini adalah “Penyiaran Sebagai Pendorong Kebangkitan Ekonomi Pasca Pandemi”, namun tidak menutup kemungkinan juga berdampak ke bidang yang lain.
Tentang Kusta
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri Mycobacterium Leprae kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, hingga saluran napas. Biasanya ditandai melemahnya atau mati rasa pada tungkai tangan, kaki, dan diikuti lesi di kulit.
Termasuk penyakit menular meski sangat sulit karena harus terjadi kontak lama dengan penderita. Namun harus diwaspadai karena efeknya tidak saja berpengaruh pada kulit, tapi juga bisa mengganggu syaraf hingga pernafasan.
1. Jenis Kusta
WHO sendiri membagi kusta menjadi dua jenis:
a. PB atau pausibasiler dengan ciri adanya lesi yang tidak lebih dari lima titik. Distribusinya di tubuh penderita adalah asimetris. Adanya mati rasa pada bagian yang mengalami hipopigmentasi dan mengganggu syaraf di bagian yang ada lesi.
Kadang disebut juga dengan kusta kering karena kulit penderita bersisik akibat tidak ada keringat pada lesi yang muncul. Pada tipe ini, bakteri yang terkandung tidak banyak sehingga cenderung tidak menular.
a. MB atau multibasiler adalah penyakit kusta yang disebut juga kusta basah karena penampakan lesi yang tampak merah mengkilat seperti basah. Lesi yang muncul lebih dari lima dan terdistribusi secara simetris. Pada jenis ini jumlah bakteri cukup banyak sehingga sangat mudah menular. Sayangnya, di Indonesia, jenis kusta yang banyak terjadi adalah yang ke dua ini.
2. Penyebab
Seseorang dapat tertular penyakit ini jika terkena droplet dari penderita terus menerus dalam waktu yang lama. Biasanya ini terjadi pada anggota keluarga yang hidup bersama penderita. Ditambah lagi dengan memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh.
3. Gejala
Penderita akan mengalami mati rasa di kulit yang diikuti munculnya bercak yang tidak gatal ataupun sakit. Otot melemah terutama di tangan dan kaki. Mata cenderung menjadi kering, sering mimisan juga hidung tersumbat. Pada beberapa kasus, mereka pun akan kehilangan dan bulu mata.
4. Pengobatan
Metode pengobatannya yang utama dengan memberikan kombinasi obat antibiotik. Pengobatan dilakukan melalui konsep MDT (Multi Drug Therapy), untuk jenis PB biasanya diberikan selama 6-8 bulan, adapun jenis MB 12-18 bulan.
Kemungkinan Eliminasi Kusta di Indonesia
Setiap tahunnya angka kusta di Indonesia cenderung menurun, misalnya di tahun 2019 angka penderita kusta adalah 17.439. Di tahun 2020, angka itu menurun hingga tersisa 16.700 kasus. Sayangnya, NLR yang diwakili dr. Febrina, mengkhawatirkan angka ini turun karena terjadi restriksi proses screening akibat adanya pandemi.
Lebih lanjut dokter cantik ini juga mengatakan masih ada 8 propinsi di Indonesia yang belum eliminasi kusta, ditambah kasus yang terjadi pada anak pun masih ada di angkat 10%.
Penyebab belum elimininasi di antaranya karena kondisi demografi Indonesia yang terdiri atas 17 ribuan kepulauan sehingga butuh effort lebih untuk menjangkau semua kantong-kantong kusta. Selain dari itu juga, kurangnya akses dan adanya stigma sangat berpengaruh.
4 hoax tentang kusta yang masih menyebar di masyarakat hingga kini:
a. Kusta adalah kutukan atau akibat dari dosa yang telah dilakukan sehingga mereka cenderung merasa malu sehingga tidak mau mau mencari pertolongan.
b. Kusta bisa menular dengan sentuhan padahal tidak benar, ini menyebabkan mereka sulit mendapatkan support dari masyarakat sekitar.
c. Kusta karena tidak bisa menjaga kebersihan
d. Kusta tidak bisa disembuhkan sehingga membuat penderita putus asa dalam mencari pengobatan
Peran Media dalam Eliminasi Kusta
Saat ditanya oleh pemandu tentang perhatian KBR terhadap isu-isu marjinal, mbak Malika menjawab dengan lugas bahwa Media bisa mengambil peran untuk terwujudnya hak-hak masyarakat yang terpinggirkan ini. Di antaranya Bekerjasama dengan NLR Indonesia selaku organisasi yang bekerja menanggulangi kusta di seluruh dunia, dalam meningkatkan literasi masyarakat tentang penyakit kusta.
Radio sebagai salah satu kanal informasi, punya fungsi untuk membentuk opini masyarakat juga fungsi pengamat yang bisa mempengaruhi proses kebijakan publik.
Dalam proses meningkatkan literasi itu, KBR berupaya menampilkan program-program tanpa menyakiti hati para penderita. Mereka melakukan riset mendalam sebelum membuat script dan selalu berkoordinasi dengan NLR sehingga selalu berada di koridor yang benar.
Packaging KBR untuk meliterasi masyarakat, bisa dilakukan dengan menghadirkan penutur kisah, berbincang dengan memilih isu yang lain daripada yang telah viral di masyarakat, membuat podcast dan lainnya. Kali ini KBR pun berkolaborasi dengan NLR dalam sebuah podcast bernama SUKA, yaitu Suara untuk Indonesia Bebas Kusta. Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat sehingga teman-teman penderita bisa mandiri.
Penutup
Nyatanya kusta masih menjadi tantangan tersendiri bagi para tenaga kesehatan, organisasi sosial dan pemerintah. Tugas mereka untuk menghentikan transmisi, mencegah terjadinya kecacatan dan menurunkan stigma akan terus berbenturan jika masyarakat belum memiliki literasi yang baik tentang kesehatan.
Padahal ada sejumlah sasaran strategi global baru yang harus dijalani terkait penanganan kusta, di antaranya tidak boleh ada kasus cacat baru pada pasien anak, tingkat kecacatan derajat 2 kurang dari 1 kasus per 1 juta orang dan juga tidak boleh ada satupun negara melakukan diskriminasi terhadap penderita kusta.
Maka menjadi tugas kita semua bersama-sama memahamkan masyarakat, minimal di sekitar lingkungan kita bahwa kusta bisa disembuhkan! Salam hangat.
Posting Komentar
Posting Komentar