Suara itu masih menari-nari di kepala. Aku tak bisa menyingkirkannya sama sekali. Gending jawa yang terdengar halus, tapi sekaligus menusuk di hati saat mendengarnya. Ini kidung rogo sukmo. Kidung ciptaan Sunan Kalijaga yang isinya sangat bagus, tapi entah kenapa membuatku merinding. Apakah karena hari yang semakin larut ataukah karena pikiranku yang sedang kalut?
Kutatap Ayu yang sedang tertidur pulas di sebelah mbah putrinya. Putri cantikku, permata hatiku yang selalu menjadi sumber kebahagiaanku. Dalam sedih dan gundahku, hanya menatapnya saja membuat semua seolah hilang tak berbekas. Tapi kali ini, melihatnya justru semakin membuncahkan kesedihan. Akankah ia mengalami luka yang sama denganku?
“Aku nggak kuat, Mas. Lepaskan saja aku!”
Sepekan lalu Astrid tiba-tiba marah dan melontarkan kata-kata itu kepadaku. Aku yang baru saja pulang bekerja, tentu tersulut emosi mendengarnya.
“Adik kenapa? Kok tiba-tiba?” tanyaku berusaha meredam rasa marah.
“Aku capek jadi tulang punggung keluarga ini. Sampai kapan harus begini, Mas?”
Jujur kalau sudah bicara tentang penghasilan, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku mengakui penghasilannya jauh lebih besar. Dulu kami bekerja di kantor yang sama, namun saat terjadi perampingan pegawai, entah kenapa justru aku yang kena dan Astrid bertahan. Sejak saat itu, terpaksa aku bekerja serabutan. Dan terakhir hanya menjadi supir ojek online, peluang yang bisa aku dapatkan.
Aku hanya menghela nafas, otakku buntu seketika. Semua terasa tiba-tiba sementara sebelumnya tak terlihat gejala apa-apa.
Kupikir aku perlu menepi, memberi ruang untuknya berpikir ulang. Walau bagaimanapun di antara kami sudah ada anak yang harus kami pikirkan jika kami berpisah. Aku pun membawa Ayu pulang ke rumah orang tuaku di desa sebelah.
===
“Dek Satriyo, sebelumnya Mas mohon maaf. Ada apa sebenarnya, kok ibu bilang sudah sepekan ini Dek Satriyo dan Ayu nggak di rumah?” Mas Adit, kakak Astrid menemuiku di masjid dekat rumah. Kepada Ibu mertua, aku sampaikan kalau aku kangen ibuku. Jadi mau menginap beberapa hari di desa sebelah. Tapi karena belum juga ada kabar dari Astrid, aku memutuskan tidak pulang dulu.
“Eeem, gini Mas. Sebelumnya saya mohon maaf, tapi…” dan mengalirlah semua ceritaku tentang permintaan Astrid. Aku tahu mas Adit sangat dekat dengan Astrid. Mungkin mas Adit bisa membantu kami.
“Sekali lagi saya minta maaf Mas, belum bisa membahagiakan Astrid. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi mungkin jalan rezeki saya belum terbuka,” kataku menutup cerita.
“Ya Allah Dek, maafkan Astrid ya. Mas sama sekali tidak menyangka kalau Astrid berani begitu. Jangan lepaskan dia Dek, Mas akan berusaha menasehatinya.” Mas Adit sampai menyeka air matanya. Mungkin dia sangat kaget. Perceraian bukan hal lumrah di desa kami, bisa geger semua.
===
Dua bulan berlalu sudah, saat aku mendapat surat panggilan dari pengadilan agama. Sama sekali aku tidak mengira kalau Astrid berani mengajukan khulu’ kepadaku. Padahal sebagai sesama lulusan pesantren, harusnya dia tahu hukum khulu’. Kalau dia salah, bisa jadi dia tak akan mencium bau surga.
Sedihku kubawa dalam sujud panjang. Hatiku hancur sejadi-jadinya. Perempuan manis, lembut dan penuh perhatian yang dulu aku perjuangkan, kini tega melepaskanku hanya karena aku miskin. Ya Allah…akankah perceraian pada ujungnya.
Terkenang nasibku sendiri yang sejak kecil tak lagi mengenal bapak. Beliau pergi begitu saja meninggalkan ibu dan aku. Sampai sekarang, aku belum pernah bertemu kembali dengannya. Luka menganga ditinggal bapak, membuatku tidak mau Ayu mengalaminya. Harusnya dia punya keluarga yang tetap utuh.
Berpakaian kemeja putih aku duduk di hadapan hakim. Astrid ada di sebelahku, meski berjarak. Kerinduanku melihatnya, sirna saat tak lagi kulihat senyum di wajahnya. Padahal dia terlihat cantik sebagaimana yang selalu kulihat selama ini.
Sidang pertama hanya membacakan tuntutan perceraian, dua pekan lagi baru sidang berikutnya yang akan menghadirkan para saksi. Aku pasrah dalam proses ini. Hanya doa yang selalu aku panjatkan, berharap keajaiban menghampiri.
===
Aku baru saja selesai mengantar barang pesanan ke toko sembako ketika pak H. Rosyid memanggilku.
“Sat, kamu dulu kerja di supermarket tho?” beliau bertanya sambil mengajakku duduk di teras rumahnya
“Nggih Pak, leres.”
“Ini lho, toko sembakoku di pasar Gede apa bisa kamu yang pegang? Mbarepku gak sanggup malah sekarang ngurus bengkel. Itu padahal laris banget lho.”
“Tapi kenapa saya Pak Haji? Saya merasa gak pantas,” ucapku merendah.
“Gini lho Sat. Aku sudah mengamatimu beberapa hari ini, juga sudah bertanya ke beberapa orang tentangmu. Kamu punya pengalaman, kamu amanah, rajin dan yang pasti selalu salat ke masjid. Itu sudah cukup buatku menilaimu.” Pak Rosyid bilang aku harus mulai kerja besok. Beliau juga memberi tahu nominal yang akan aku dapatkan setiap bulannya.
Bahagia seketika memenuhi dadaku. Allah Maha Besar yang mendengar setiap doa hamba-Nya yang berpasrah. Seketika aku mengingat Astrid dan Ayu, dua perempuan yang aku sayangi. Mungkinkah Allah menyatukan kami kembali sebagai keluarga?
Segera aku pulang ke rumah. Aku ingin mengabari ibu. Baru saja aku memarkir motor saat melihat Astrid berlari mendekat dan bersimpuh di kakiku. Dalam tangisnya berulang kali ia meminta maaf. Aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku. Yang aku tahu air mataku menderas. Bisa-bisanya Allah menghadirkan bahagia yang terlalu sempurna.
Posting Komentar
Posting Komentar