Dua penghargaan yang diraih film Keluarga Cemara, kembali mendapuk Arswendo Atmowiloto sebagai pemenang. Ya, lagu berjudul ‘Harta Berharga’ yang digunakan sebagai soundtrack film itu ditulis oleh beliau dan sahabatnya Harry Tjahyono. Lagu itu meraih soundtrack film terbaik di ajang piala Citra tahun 2019.
Jauh sebelumnya, kisah keluarga ini tayang dalam bentuk drama berseri di televisi. Drama yang sangat popular di tahun 90an hingga 2000 awal. Kisah ini berawal dari buku yang ia tulis sejak tahun 1970an dan terbit di tahun 1981.
Keluarga Cemara mengisahkan tentang nilai kejujuran sebuah keluarga kecil yang hidup jauh dari hiruk pikuk Ibu Kota. Cerita ini pun mulai digemari dan menjadi favorit khalayak pada waktu itu. Tayangan ini pernah menjadi serial yang selalu dinanti di akhir pekan. Setiap kalimat yang keluar dari sosok Abah dan Emak kepada anak-anaknya selalu terpatri dalam ingatan. Bahkan, lebih dari dua dekade setelah peluncuran serial pertamanya, banyak orang yang masih mengingat setiap detail cerita hingga lagu temanya.
Profil Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo pada 26 November 1948 dengan nama asli Sarwendo. Nama Sarwendo kemudian diubah menjadi Arswendo dan di belakang ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto.
Arswendo masuk ke Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Solo, usai lulus dari sekolah menengah atas. Namun, pendidikan di bangku kuliah tersebut tidak tamat. Meski begitu, ia pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City Amerika Serikat pada 1979.
1. Karya Sastra
Karier menulis Arswendo Atmowiloto dimulai pada masa 1970-an ketika cerpennya berjudul “Sleko” dimuat di majalah mingguan Bahari pada 1971. Berselang setahun, ia diangkat menjadi pemimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo. Ia kemudian menulis cerita-cerita pendek yang diberi judul Keluarga Cemara saat ia menjadi pemimpin redaksi majalah Hai. Buku pertama Keluarga Cemara yang berisi 15 cerpen tentang keluarga Abah dan Emak dirilis pada 1981.
Semasa hidupnya Arswendo terkenal sebagai sastrawan dan wartawan di berbagai surat kabar dan majalah. Di antaranya, menjadi wartawan Kompas dan pemimpin redaksi majalah Hai, Monitor, dan Senang.
Nama Arswendo semakin dikenal luas setelah mendirikan rumah produksi. Salah satu produksinya yang paling terkenal adalah sinetron Keluarga Cemara. Ia juga menjadi sosok di balik sinetron populer lainnya seperti Ali Topan Anak Jalanan, kemudian Deru Debu, 1 Kakak 7 Ponakan, Jalan Makin Membara II dan III serta Imung.
2. Penghargaan
ü Hadiah Zakse (1972) untuk esainya yang berjudul Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi.
ü Hadiah Perangsang Minat Menulis dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk drama yang berjudul Penantang Tuhan dan Bayiku
ü Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ (1975) untuk drama dengan judul Sang Pangeran
ü Penghargaan ASEAN Award di Bangkok untuk bukunya yang berjudul Dua Ibu dan Mandoblang.
ü Piala Vidya untuk sinetron Pemahat Borobudur (1987)
ü ASEAN Awards Culture Communication & Literary Works, Bangkok, Thailand (1987)
ü Piala Vidya Utama atas Cerita Sinetron Terbaik untuk sinetron Menghitung Hari (1995)
ü Piala Vidya untuk Vonis Kepagian (1996)
Potret Lusuh Jurnalisme
Di perjalanan hidupnya, suami dari Agnes Sri Hartini ini juga sempat mencicipi jeruji penjara selama lima tahun. Kasus yang menimpanya bukan perkara kecil, melainkan penistaan agama. Tanpa perhitungan dan pengetahuan masak akan agama yang bukan dianutnya, ia melakukan hal yang menimbulkan emosi umat Islam.
Ini menjadi satu peristiwa yang mencoreng dunia jurnalisme. Sebagai seorang wartawan, sisi cek dan ricek tidak dijalankannya. Sebagai seorang wartawan harusnya mengkaji dengan cermat sebelum meluncurkan berita yang akhirnya blunder untuk dirinya sendiri.
Tahun 1990, saat menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia melakukan jajak pendapat yang diberi nama "Kagum 5 Juta". Angket tersebut pada dasarnya hanya ingin mengetahui siapakah tokoh yang dikagumi oleh pembaca tabloid Monitor sekaligus menambah oplah majalah yang saat itu disebut sebagai majalah dengan oplah tertinggi di Indonesia.
Angket ini juga diberi rangsangan kepada pembaca berupa hadiah uang tunai. Ide ini berasal dari pemikiran Pemimpin Redaksi Monitor saat itu, Arswendo Atmowiloto. Angket ini memicu kontroversi karena nama Arswendo berada di atas Nabi Muhammad dalam daftar tokoh yang paling dikagumi.
Arswendo mengakui, metodologi yang dipakainya kurang kuat karena hanya mengandalkan kepada kartu pos dari para pembaca Monitor sehingga setiap warga dapat mengirimkan pendapat mereka masing-masing.
Monitor saat itu, ujar dia, menerima hingga sebanyak 33.963 kartu pos dan terdapat sejumlah 667 nama yang diajukan para pembaca. Hasil dari survei itu adalah menempatkan antara lain Presiden kala itu, Soeharto, di urutan pertama, sedangkan Nabi Muhammad SAW berada di urutan kesebelas.
Hasil tersebut memicu kontroversi dan sejumlah aksi sehingga Arswendo dijerat dengan pasal-pasal KUHP terkait penodaan agama dan divonis dengan hukuman lima tahun penjara. Sedangkan pada saat banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Arswendo akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.
Arswendo meninggal dunia pada usia 70 tahun di tanggal 19 Juli 2019 setelah berjuang melawan kanker yang menggerogotinya.
Sebagai generasi 90-an, saya nggak tahu tentang cerita kepenulisan (apalagi kontroversi) Arswendo, denger nama beliau pas ada bahasan tentang Keluarga Cemara yang fenomenal
BalasHapusPastinya, karena memang sudah kasus lama dan tertutup dengan karya-karyanya.
Hapus