HeaderBundaLillah

ABANDONED

2 komentar

 

diabaikan




Menatap cermin dan yang terlihat adalah wanita jelang lansia. Kerut di bawah mata dan di sudut bibir tak mampu lagi ia tutupi. Kantung mata bahkan semakin membesar seiring insomnia yang terus mengejar. Diusapnya helai helai rambut yang terus memutih tanpa ampun.

    Ah, tapi aku masih cantik, katanya pelan.

Sudut matanya tetiba berkeliling menjelajahi isi kamar. Tak ada yang berubah, semua masih terletak pada tempatnya. Kamar indah yang diisinya dengan furnitur tak murah. Ya, tidak ada yang bergeser sedikitpun. Hanya saja, kamar itu terlalu kosong. Seperti juga hatinya yang kini tak lagi bertuan.

Tidak apa-apa. Memang sudah waktunya kamu pergi, Sayang. Tak ada lagi yang menyakitimu sekarang. Wanita itu berbisik pada dirinya sendiri, tapi ada yang mengalir di pipi. Sekuat mungkin ia berusaha menepis sakit yang tiba-tiba kembali menggerogoti hatinya.

Orang jawa bilang seorang istri adalah sigaraning nyawa, belahan jiwa. Bahwa lelaki tak bisa hidup tanpa istrinya. Nyatanya yang ia rasa, ia pun sebenarnya tak bisa hidup tanpa suaminya. Tapi katanya perempuan lebih tegar. Siapa bilang? Kalau bukan karena iman, untuk apa ia bertahan.

Masih berdiri dan perempuan itu menghela nafas panjang. Tidak ada lagi harapan yang membuatnya kuat menjalani sisa hidup. Bahkan tidak juga anaknya..

===

    “Kamu pikir kamu siapa, berhak atur hidup aku?” lelaki muda itu mengeluarkan semua amarahnya. Ia berjalan hilir mudik di ruang tamu dengan wajah mengeras.

    “Lho, salah Ibu apa? Ibu cuma minta kamu bertanggung jawab dengan hidupmu. Bapak sudah ndak ada, paling tidak pulanglah sesekali temani Ibu.”

    “Aku sudah bilang aku gak bisa. Jadwal kuliahku sudah padat!”

    “Mas Haidar, mbok jangan ketus gitu sama Ibumu.” Tiba-tiba Bu Sumi masuk ke ruang tamu dan berusaha menenangkan. Bu Sumi, pembantu yang sedari kecil mengurus Haidar.

    “Udah lah Mak, nggak usah ikut campur. Aku sudah besar, aku juga muak hidup di sini. Siapa dia berani masuk dalam hidupku?!”

Deg, bak godam menghajar, runtuh sudah pertahanan Malika, sang ibu. Seketika dia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Ini rasa sakit yang lebih besar dari saat kehilangan suami. Seorang anak yang ia asuh besarkan, tak lagi memandangnya dengan hormat apalagi cinta.

Ya, memang bukan dia yang melahirkannya. Tapi sejak bayi merah, Haidar sudah berada di pelukannya. Bayi menggemaskan yang menjadi permata di keluarga kecilnya itu tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pemberani.

Segala upaya mereka berikan untuk anak semata wayang itu, hingga satu peristiwa membongkar kenyataan tentang siapa dia. Malika dan Hafiz, suaminya, tak bisa mengelak dan menceritakan yang sebenarnya. Bom itu meledak dan memporak porandakan semua hubungan mereka.

===

Berbulan-bulan dan Haidar tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Bahkan nomor telepon Malika pun diblokir. Malika tak tahu lagi harus bagaimana. Bukan ia tak mau mencari, tapi rasa takut kembali kecewa membuatnya mengurungkan diri. Nyatanya dia dibuang oleh anaknya sendiri.

Kenyataan ini terlalu menyakitkan. Meski ia terus melarung doa di setiap sujudnya, tapi tak lagi bisa mencurahkan kasih sayang ternyata pahit yang dirasa. Malika tahu, pasti banyak salah dirinya saat mendidik anaknya. Tapi apakah orang tua harus terus sempurna tanpa cela? Gerangan apa yang membuat anaknya melupakan dirinya?

Ribuan tanya berkecamuk di kepala. Dan ketika rindu mendera, ia hanya berharap bisa mati rasa agar tak ada lagi air mata. Mati rasa atau mati raga, Malika tak lagi peduli. Yang ia lakukan sekarang, sekedar menjalani sisa dari usia.

Matanya kembali melihat spion depan mobilnya. Terlalu banyak kerut kini di wajahnya. Bahkan di sudut mata sangat kentara meski ia tak sedang tertawa. Tawa, adalah kata yang ia lupa kapan terakhir melakukannya. Dan tanpa tawa, wajahnya makin tak berupa. Hingga kadang lupa, ia siapa.

Baru saja Malika menurunkan pandangannya untuk kembali melihat jalan, saat matanya bersirobok pada truk yang berjalan semakin cepat ke arahnya. Rupanya ia keluar jalur hanya karena sebentar terpaku di spion depan.

Allah, bukan ini jalan yang kupinta. Aku masih berharap bisa bahagia meski sendiri, jerit hatinya. Tapi klakson yang ia pukul bertalu-talu hanyalah sia-sia saat wajah Mas Hafiz dan Haidar melintas di kepala.
                                                            ***

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar