HeaderBundaLillah

Orang Miskin Jangan Mati di Kampung ini

14 komentar

Review Buku OMJMDKI
rizaalmanfaluthi.com

 

Seperti de javu membaca judul buku ini. Rangkaian kalimat yang mirip juga kerap muncul di benak kepala bunda saat menjaga almarhumah Mama di rumah sakit 17 tahun lalu. Kalau judul buku ini, “Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini”, waktu itu yang bolak balik muncul di benak bunda “Orang Miskin Jangan Sakit”.

Setahun merawat Mama, bolak balik masuk rumah sakit membuat bunda banyak berpikir. Betul, dunia tidak adil. Bahkan di saat terjepit pun, ada saja oknum nakal yang memanfaatkan. Kalau ada pegawai rendahan rumah sakit yang membantu banyak hal, kemudian dibayar, ya wajar saja. Tapi ini dokter spesialis yang tak tahu malu meminta bayaran lebih jika jadwal operasi mau dimajukan.

Mana ada anak yang tega melihat ibunya dengan perut membuncit karena kanker dan mendapat jadwal operasi masih tiga bulan lagi, sementara untuk bernafas saja sudah sangat kepayahan. Dalam kondisi begitu, tetiba sekretaris sang dokter memanggil, bisa jadwal maju dan langsung operasi, tapi bayar 3 juta. Kejadian itu di tahun 2003, bayangkan berapa nilai uang itu sekarang.
Ah jadi ngelantur nih, wong mau review buku. Maaf ya…


Identitas Buku


Judul Buku: Orang Miskin Jangan Mati di Kampung ini
Penulis: Riza Almanfaluthi
ISBN: 978-602-5824-55-5
Editor: M. Iqbal Dawami
Perancang Sampul : Wirastuti
Penata Aksara: If Noer
Penerbit: Magzha Pustakan
Tahun Terbit: 2020
Halaman: 203


Mengenal penulis ini sejak lama. Berawal dari istrinya yang menjadi teman sepengajian bunda dan ternyata anak kami pun satu angkatan di sekolah dasar yang sama. Tapi ya sebatas mengenal saja, sekedar senyum dan uluk salam kalau bertemu.

Justru jauh lebih mengenal cara berpikirnya lewat tulisan-tulisan beliau di media sosial juga di blognya “Dedauan di Ranting Cemara”. Bahasanya runut dan mengalir. Termasuk yang produktif dalam menulis hingga punya ribuan tulisan di memori eksternalnya. Dulu saya sering komen, ayo bikin buku. Jadi ketika muncul di FBnya tentang buku ini, suddenly inbox lah. Oh ya, sebenarnya istri beliau juga jago nulis, harusnya mereka bisa kolaborasi nulis buku bareng.

Tentang Buku

Buku ini dibagi dalam 3 bab dengan 34 kisah yang entah muncul dari mana tapi membuat kita terhenyak membacanya. Kisah-kisah sederhana tapi meninggalkan jejak di hati. Tiga bab yang diberi nama Spirit atau semangat, Kulasentana yang artinya sanak keluarga dan Nuraga yakni empati menjadi simpul dari kelindan cerita yang ada.

1. Spirit


Spirit



Beragam kisah yang memacu semangat akan kita temui di bab ini. Tentang dunia pendidikan, perpajakan juga motivasi cinta. Ambil contoh judul Dashrath Manji yang mengisahkan perjuangan seorang lelaki membobol gunung selama 22 tahun. Kecelakaan yang menewaskan istrinya karena telat sampai ke rumah sakit yang berada di desa sebelah di balik gunung lah yang membuatnya rela dibilang gila. Kisah nyata ini bahkan kemudian dibuat menjadi film dengan judul Manjhi: The Mountain Man.

Dalam judul lain, sebaris kalimat,”Ciptakanlah sejarah untuk dirimu sendiri” telah melecut seorang gadis kecil yang hanya anak pasar mendapatkan SMP yang diinginkannya. Sekolah bergengsi di kotanya yang berisi anak-anak hebat dan juga kaya. Kata-kata sang guru membuatnya menjadi peraih NEM terbaik di sekolah dan mengantarkannya ke sekolah impian. Bunda kenal gadis ini yang telah menjelma menjadi ibu hebat dan dosen di sebuah sekolah kedinasan.

2. Kulasentana


Kulasentana


Beratnya jadi perempuan karena gampang baper adalah menangis bolak balik di bab ini. Bab keluarga buat setiap orang pasti selalu membuat hati menjadi haru biru. Ada kisah tentang perjuangan menanti buah hati, konflik suami istri hingga ketangguhan ibu yang berjuang demi anak.

Siapkan tisu sebelum membaca, khususnya pada kisah “Cinta untuk Kai”. Indy sang ibu terpaksa meninggalkan Kai, bayinya berusia tiga bulan di Solo. Ia harus melanjutkan studi S2nya di Bangkok dan usia kai belum memungkinkan untuk naik pesawat.

Perjuangan dimulai karena tekad Indy yang ingin memberikan ASI ekslusif meski tinggal ribuan kilometer jauhnya. Setiap bulan ia pulang ke Solo dengan membawa kotak pendingin berisi 45 liter ASI yang diperahnya selama di Bangkok. Tidak berhenti hanya sampai di situ, saat memasuki pesawat ia harus merelakan berbagai kejadian tidak menyenangkan terjadi pada harta berharganya itu. Meski kemudian, banyak kemudahan juga yang ia dapatkan yang membuat Bunda tak henti ikut bersyukur dan meneteskan air mata.

3. Nuraga


Nuraga


Di bab inilah mommies akan mendapati kisah yang menjadi judul buku, “Orang Miskin Jangan Mati di kampung ini.” Kisah ini pun Bunda saksikan dalam kehidupan sehari-hari, karena memang bisa dibilang Bunda dan penulis buku tinggal di kampung yang sama.


Kematian buat orang di kampung kami bukan sekedar kehilangan sanak keluarga, tapi juga harta banda (sebutan orang kampung). Saat meninggal, maka keluarga harus menyiapkan dua karung beras ukuran 50 kilogram yang kemudian diserahkan ke pemuka agama setempat. Untuk apa? Penebusan dosa selama hidup, jika kurang ibadahnya dan lain-lain.


Sudah? Belum…. Selanjutnya siapkan amplop untuk semua proses pemulasaraan jenazah. Mulai memandikan, mengkafankan, hingga menyalatkan. Bolehlah kita skip urusan kuburan karena memang itu pasti berbiaya. Selanjutnya biaya terberat adalah tahlilan di rumah dan pengajian di kuburan selama tujuh hari tujuh malam.

Kisah detilnya bisa mommies baca di buku ini berikut kisah-kisah lainnya yang membangkitkan empati.

Dalam buku keduanya ini , penulis berhasil membuat kita berpikir ulang tentang kehidupan. Ada banyak labirin di luar nalar kita yang ternyata ada di dunia ini. Beliau kemas dengan bahasa sederhana yang mengalir sehingga enak dibaca. “Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini” layak menjadi bacaan penguat hati.


Jika Anda terlahir miskin, itu bukan kesalahan Anda. Tetapi jika Anda meninggal dalam keadaan miskin, itu kesalahan Anda.
= Bill Gates =







Related Posts

14 komentar

  1. Ya Allah, hidup di kampung tuh keras juga ya bun. Nggak cuma di kota. Kalau gak paham kondisinya pasti muncul celetukan, "ha masa si? di kampung kaya gitu?".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang lebih parah. Dalam banyak hal sebenarnya banyak yang harus diperbaiki. Tapi banyak orang skeptis

      Hapus
  2. Alhamdulillah kalau di kampung saya 'tidak terlalu begitu' bun. Walaupun tradisi tahlilan dengan segala konsumsinya yang disiapkan tuan rumah masih ada, miris kadang melihat kondisi seperti ini ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kang, tapi ini realita yang harus dihadapi. Berani tampil beda itu gak mudah

      Hapus
  3. Ada ya penebusan dosa diganti dengan sekarung beras, 50 kg lagi. Klo udah jadi adat kampung, agak susah untuk menghindar. Mau gak harus dikutin, meski kasian kalau keluarga yang ditinggalkan upahnya pas²an.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak. Awal tinggal di sini saya sempat kaget. Tapi berusaha memahami secara nalar pendapat mereka. Insyaallah tidak ikut campur tapi juga tidak mau larut

      Hapus
  4. Waah kalai udah masalah adat susah banget buat gak mengikuti ya bund...

    BalasHapus
  5. MasyaAllah, berat juga ya hidup di masyarakat yg seperti itu. Kudu ada yg berani membuat perubahan, walau pasti sangaaat berat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah dengan semakin banyak pendatang, mereka semakin memahami perbedaan dan menerima yang berbeda

      Hapus
  6. Baca ulasan bukunya saja sudah membuatku menahan nafas, apalagi baca bukunya beneran. Duh ngilu rasanya. Mereka orang-orang yang kuat

    BalasHapus
  7. Besar banget "biaya kematian" di kampung. Aku tertarikbaca bukunya. Bisa beli dimana ya bun?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau aku kasih no wa penulisnya? Kan lumayan dapat tanda tangannya

      Hapus

Posting Komentar