HeaderBundaLillah

Arisan Covid

14 komentar

 

Arisan Covid



Awalnya ragu, perlukah menuliskan pengalaman mendapatkan arisan covid ini? Tapi akhirnya bunda berpikir, bisa jadi ada sesuatu yang bisa diambil pelajaran di sana. Karena setiap orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda, tergantung kondisi masing-masing.

Menjadi penyintas covid, sama sekali tidak pernah terbayangkan. Meskipun Bunda masuk kategori komorbid yakni asma dan diabetes, selama ini merasa sehat dan bahagia. Termasuk orang yang tidak memusingkan hal-hal kecil. Sehingga walaupun carrier diabet sejak tujuh tahun lalu, orang-orang tidak pernah mengira mengingat tubuh Bunda tidak menyusut seperti pada umumnya penderita diabet.

Dua pekan setelah lebaran, tetiba kasus covid meningkat kembali. Diduga mudiknya masyarakat setelah saat lebaran dilarang, menjadi pemicunya. Kondisi tidak terkendali, karena penyintas covid masuk ke lingkaran yang lebih dekat lagi. Kalau dulu hanya mendengar orang-orang yang jauh dan tidak dikenal menjadi korban, kali ini bahkan teman juga saudara bertumbangan.

Awal Kehadirannya


Panik nggak? Panik nggak? Panik lah, masa ngga?!

Yup, ada perasaan khawatir muncul dalam diri. Semua harapan tentang sekolah kembali tatap muka, kehidupan membaik dan Indonesia kembali bahagia seketika pupus melihat angka penyintas yang terus naik dari hari ke hari.

Tetiba semua platform media sosial dipenuhi gambar kematian dengan bingkai oval. Jujur kadang Bunda skip karena tidak nyaman. Kabar tentang rumah sakit yang penuh di mana-mana hingga tenda-tenda pun didirikan di halaman rumah sakit begitu menyayat hati. Belum lagi kelangkaan tabung oksigen, regulator juga isi ulang oksigennya sendiri di mana-mana.

· Dua Pekan sebelum tumbang


Kabar kepergian eks murid yang baru melahirkan anak pertamanya mungkin menjadi hantaman pertama. Bunda menangis hampir satu jam karena teringat manisnya dia dulu, anak manja tapi pejuang yang tangguh. Apalagi saat itu, kedua orang tuanya pun adalah penyintas covid. Terbayang bayinya yang belum genap sebulan harus kehilangan sang ibu. Ya Allah…

Kabar berikutnya tentang kematian suami dari teman baik. Satu keluarga menjadi penyintas, dan sang ayah menghadapi gejala berat dengan saturasi oksigen yang terus turun. Bersyukur ada tempat di RS, namun hanya tiga hari di RS beliau pun wafat. Sang istri shock dan down selama beberapa pekan. Memikirkannya membuat saya ingin berlari menemuinya tapi tidak mungkin.

Saat itu Bunda pun sudah tergabung dalam Satgas Covid 19 tingkat kecamatan. Setiap hari berita warga yang positif terus bertambah. Kebutuhan obat, logistik juga oksigen harus menjadi perhatian utama. Maka grup whatsapp itu selalu saja berdenting bahkan hingga malam.

Dari diskusi dengan beberapa teman, memang mengerucut pada satu kesimpulan, covid ini tidak pandang bulu. Siapapun dengan daya tahan tubuh kurang akan mudah kena. Ibarat arisan, tinggal menunggu kapan kocokan tiba dan nama kita yang keluar.

· Pekan pertama


Tanggal 8 Juli 2021, si bungsu mulai demam. Sama sekali tidak curiga karena yang namanya anak memang mudah demam. Dia hanya mengeluh pusing dan ada sedikit batuk. Bunda hanya memberikan nutrisi herbal dan obat penurun panas. Tiga hari kemudian demamnya turun dan kembali sehat beraktifitas seperti biasa.

Tanggal 12 Juli 2021 terasa tenggorokan tidak nyaman saat bangun pagi. Bunda pikir hanya kecapekan karena beberapa hari begadang ketika si bungsu sakit. Tiba-tiba bakda zuhur dapat berita kematian lagi. Adiknya teman dekat yang juga saya kenal baik wafat hanya sepuluh hari setelah kepergian istrinya. Kami menangis berdua di telepon.

Setelah itu tiba-tiba batuk Bunda tidak mau berhenti sampai sore. Akhirnya sore mulai demam tinggi. Bunda lawan dengan madu juga obat penurun panas dan obat batuk. Herannya hingga hari ke empat, demam nggak juga turun. Kalau batuk, karena punya asma, memang biasa lama. Akhirnya ke klinik untuk tes swab, mengingat penciuman Bunda mulai berkurang.


POSITIF! 
Sudah menduga meski tetap kaget. Bersyukur karena jadi tim Satgas C-19, paham harus bagaimana menyikapi. Tetap berpikir positif dan yakin Allah adalah pelindung terbaik.
Segera menghubungi tim Satgas, petugas kesehatan desa juga RT setempat dengan melampirkan semua dokumen. Berusaha makan meski sedikit, berjemur dan menggerakkan tubuh. Mulai mengkonsumsi aneka herbal yang dikirim dari beberapa teman. 

Masyaallah, dalam kondisi sakit dan sempit begini, perhatian dan kepedulian orang-orang tersayang, sangat luar biasa. Setiap hari gojek seliweran menghantarkan kiriman makanan, buah-buahan, obat dan herbal yang bahkan ada tak bernama. Jazaakumullaah khoiro jazaa untuk semua, terkhusus untuk banyak doa dari mereka yang tentu jauh bermakna.


Nutrisi Herbal

· Pekan ke dua


Tujuh hari berlalu dan demam masih bertahan. Kadang turun tapi beberapa saat kemudian, tinggi lagi. Batuk yang sudah mulai berdahak membuat dada terasa lebih ringan daripada saat batuk masih kering.

Dokter di tim Satgas terus memantau, hingga akhirnya meresepkan antivirus dan antibiotik. Bunda orang yang gampang minum obat, tapi melihat belasan butir obat yang harus ditelan satu waktu, bikin jiper juga. Ya Syaafi….kalau bukan demi ikhtiar kesembuhan, rasanya ogah.

Setelah mengkonsumsi dua jenis obat itu, demam pun turun di hari ke sembilan. Tapi herannya kemudian saturasi oksigen mulai turun. Teman baik masa di pondok sudah mengirimkan tabung oksigen untuk berjaga-jaga karena Bunda ada asma. Bunda bilang.”Mudah-mudahan nggak harus pakai mbak.” Nyatanya di hari ke sembilan itu Bunda akhirnya harus dibantu oksigen.

Dokter di tim Satgas menyarankan Bunda dirawat di RS saat saturasi oksigen menunjukkan angka 86. Beliau bolak balik menawarkan bahkan sampai menelepon murobby Bunda agar mau membujuk Bunda ke RS. Tapi Bunda bertahan karena tidak merasa sesak, insyaallah secara psikis lebih kondusif di rumah.

14 hari pun berlalu. Isoman sudah selesai tapi oksigen masih terpasang. Sabar akhirnya jadi kunci kemenangan saat di hari ke 16 saturasi oksigen naik kembali ke posisi normal. Allahu akbar, akhirnya kembali bisa menghirup oksigen gratis dari Sang Maha Rahiem. Kondisi pun berangsur-angsur pulih, meski baru bisa berjalan jauh setelah sebulan dari awal sakit.

Nilai-Nilai Kebaikan


Berjemur



Semua bersyukur saat Bunda mengumumkan kesembuhan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang membantu. Mereka bilang Bunda sudah jadi pemenang karena berhasil mengalahkan rasa cemas dan takut yang nyatanya memang lebih berbahaya. Bunda sendiri tidak pernah menyangka berhasil melalui dengan baik. Sakit yang rasa terornya lebih tinggi dari penyakit itu sendiri.

1. Kesehatan memang yang utama


Inilah nikmat yang Rasulullah katakan sering dilalaikan manusia. Saat sehat kita sering abai dan menghalalkan segala hal yang ternyata tidak thoyyib buat diri kita. Begitu juga yang Bunda alami sebenarnya. Tahu bahwa begadang adalah musuh Bunda, masih saja dilakukan meski dengan alasan anak.

2. Kepedulian adalah senjata


Saat sakit, perhatian dan kasih sayang dari sekitar juga menjadi faktor kesembuhan. Kita tahu di luaran sana banyak yang mendoakan dan mengharapkan kesembuhan. Itu bisa menjadi imun booster yang baik.

Balas kebaikan semua dengan kembali mendoakan dalam diam. Apapun kebutuhan mereka, semoga Allah ijabah.

3. Kesabaran sebagai panglima


Jangan pernah mengeluh! Karena hanya mereka yang tidak mengeluh yang akan Allah hapus dosa-dosanya lewat sakit yang diderita. Alhamdulillah, sama sekali Bunda tidak pernah menangis. Padahal biasanya kalau lagi sakit, yang remeh-remeh saja, kadang menangis karena ingat almarhumah Mama.

Sekelebat pernah ada rasa takut kematian akan datang menyergap tiba-tiba di malam hari. Apalagi saat memakai oksigen 24 jam x 7 hari itu, ada saja perasaan itu muncul. Bunda hanya bisa menyikapi dengan terus melafazkan istighfar. Alhamdulillah Allah masih beri kesempatan beribadah kembali.

4. Kesyukuran menjadi penyempurna


Sebesar apapun nikmat yang kita dapatkan, tanpa syukur tak akan terasa artinya. Melihat anak yang tetap sehat padahal senantiasa sigap di sisi Bundanya, suami yang mau mengurus rumah sekaligus melayani seluruh kebutuhan istrinya, adalah nikmat yang luar biasa.

Maunya memberi mereka senyuman, tapi dalam kondisi sakit, ternyata berat menyungging bibir. Apalagi saat masih demam, bibir kering dan pecah-pecah.

Dalam sakit, ternyata rasa syukur juga semakin bertambah. Merasakan bagaimana tidak nyamannya menggunakan selang oksigen, menghirup oksigen artifisial yang terasa dingin di lubang hidung. Adalah sombong jika tidak mensyukuri di kala sehat.

5. Keyakinan pada Allah akhirnya jadi pembela


Yeaay…akhirnya bergelar Lc! Bukan Licensed dari timur tengah sana, tapi lulusan covid.

Meyakini Allah sebagai pembela bahkan di kondisi tersulit, menjadi senjata bagi setiap mukmin. Tak perlu khawatir, jangan pula bersedih karena Allah yang Maha Tahu.

Sulit tilawah karena tenggorokan sakit, selalu batuk dan nafas pendek-pendek, Allah pasti tahu. Berbicara saja rasanya sakit. Bunda akhirnya hanya mendengarkan murottal. Dzikir hanya bisa di hati atau kalaupun dilafalkan, tanpa suara.

Bagian dari meyakini Allah sebagai pembela adalah tidak pernah berputus asa. Pasti akan sembuh seperti sediakala, hanya perlu proses.

So mommies, pasti juga pernah mengalami atau mendengar pengalaman yang sama. Mudah-mudahan banyak nilai yang bisa kita ambil dari setiap perjalanan hidup. Termasuk jika kebagian kocokan arisan covid. Semangat untuk tetap sehat!

Related Posts

14 komentar

  1. Covid itu membuka mata betapa masih banyak orang yang peduli. Kulkas sampai penuh, karena dapat kiriman dari banyak orang saat lagi isoman. Jadi pengingat buat diri saya untuk punya kepedulian yang sama kepada orang2 di sekitar, teman2 dan kerabat. Alhamdulilah ya bun sekarang udah sehat dan lulus dari Akademi Covid :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah berhasil juga punya titel Lc.
      Maunya sih Licensed dari Timur Tengah

      Apa daya hanya lulusan covid :)

      Hapus
  2. Alhamdulilah sudah divaksin langsung dari Allah. Insyaallah lebih kuat dari vaksin buatan manusia. Tetap prokes, semoga selalu diberi kesehatan dan tetap semangat

    BalasHapus
  3. Huhu jadi inget pengalaman covid sendiri. Semoga covid cepet hilang dari muka bumi dan jangan jadi endemi. Sehat terus ya, Bun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Banyak sekali pengalaman berharga yang harus kita alami. Mudah-mudah selalu berpikir positif dan lulus ujian Allah menghadapi pandemi ini

      Hapus
  4. Alhamdulillah, Allah masih memberikan umur pada kita sehingga sembuh kembali sebagai penyintas Covid-19. Semoga kedepannya, kita lebih mendisiplinkan diri untuk tetap berikhtiar menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan sekitar kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kang....
      Barakallah lanaa, lulusnya hampir bareng ya...

      Hapus
  5. Alhamdulillah, akhirnya lulus juga. Masih ingat rasanya, sakit yg tidak hanya menyerang fisik tapi juga psikis. Meski tak sampai deman tinggi dan batuk, teror mas cov ini luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget Bunda, duh...mudah-mudahan jangan ada lagi yang harus mengalami

      Hapus
  6. Alhamdulillah Bund..
    Ikut seneng bacanya..
    Semoga kita semua dan keluarga tetap diberi kesehatan terus ya Bund..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ammiin....alhamdulillah
      semangat sehat selalu yang mbak

      Hapus
  7. Alhamdulillah bun, berhasil melewati cobaan covid dengan baik. Covid memang ga pandang bulu, bisa nyerang siapa aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul...
      Padahal rasanya saya tuh orang hepi aja
      Tapi memang harus kebagian kocokan

      Hapus

Posting Komentar