Sekarang tiba-tiba ngerasa bodoh banget. Waktu muda ngapain aja sih, sampe bingung ditanya pekerjaan impian. Beneran nih, bunda berusaha berpikir keras, sebenarnya cita-cita bunda apa ya? Asli deh malu banget, jadi orang gak ambis, akhirnya mengalir aja ikuti arus. Bersyukurnya arus yang diikuti masih lempeng, jadi gak bleberan, hehehe.
Sebenarnya bunda tipikal orang yang senang belajar, apa aja pengen tahu, apa aja dipelajari, apa aja dicari. Bingung deh lihat tumpukan sertifikat di folder. Tapi yang ditekuni pada akhirnya memang tidak banyak, lagi-lagi hidup itu pilihan. Ada yang bisa jadi pekerjaan profesional, tapi sebagian pada akhirnya hanya jadi hobi. Banyak hal yang sekedar bisa, alhamdulillah jadi bekal saat harus bicara atau menulis.
Peta Perjalanan Pekerjaan Impian
Banyak hal yang dimau sejak kecil dan kalau diingat-ingat, ada 6 pekerjaan yang pernah bunda impikan:
1. Polwan
Berbeda dengan umumnya anak-anak yang kebanyakan mau jadi dokter atau guru, sampai kelas 6 SD bunda cuma mau jadi polisi wanita. Pssst jangan diketawain yah, ini ada sebabnya. Jadi, kebetulan bunda lahir di tanggal 5 Oktober yang notabene adalah hari ABRI alias TNI zaman sekarang.
Nah, setiap menjelang hari itu, dulu para TNI akan lewat depan rumah bunda yang memang di pinggir jalan atau lewat depan sekolah. Mereka berlatih baris berbaris sambil menyenandungkan aneka lagu, yah..macam lagu Tersepona ala TNI zaman sekarang. Duh, setiap kali mereka lewat, banggaaaa banget. Karena didukung pembawaan bunda yang juga tomboy, maka polisi wanita adalah impian pekerjaan yang sangat menarik.
Tapi nasib berkata lain, bunda harus melanjutkan pesantren selepas SD. Impian itu pun lenyap seketika. Apa kata dunia?
2. Dokter
Cita-cita ini datang terlambat. Yah, baru mau menjadi dokter saat di pondok. Dua faktor yang mendorong keinginan ini muncul. Pertama, ada seorang ustaz di pondok yang berhasil menjadi dokter padahal beliau lulusan Kuliyyatul Mu’allimin (KMI). Lulusan KMI ini tidak memiliki ijazah negara karena mata pelajaran yang dipelajari mayoritas ilmu pesantren. Tapi dengan mengikuti ujian persamaan SMA, beliau bisa lulus fakultas kedokteran UNS dan menjadi dokter.
Faktor kedua sebenarnya receh banget. Jadi bunda kepingin kuliah di FK UI karena tertarik sama gedung kampusnya. Ceritanya bunda punya teman dekat di pondok yang rumahnya sekitaran FK UI. Nah setiap kali main ke rumahnya, bunda bakal melewati kampus itu. Kadang bunda turun dan berjalan sambil memegangi pagarnya. Masyaallah senangnya kalau bisa kuliah di sana.
Meski bunda berusaha semaksimal mungkin, nyatanya hanya mukjizat yang bisa membuat bunda kuliah di FK UI. Bersyukur masih diterima di FKM UI, hehehe.
3. Dosen
Setelah kuliah, bunda baru punya cita-cita ini. Terinspirasi dari Bapak yang pernah berdoa supaya bunda bisa jadi dosen. Waktu itu Bapak bilang,”Bapak kan udah pernah Lil, ngerasain jadi guru TK, SD sampai SMA. Mudah-mudahan Lillah bisa jadi dosen yah.”
Alhamdulillah sempat ikut seleksi dosen muda di kampus, tapi setelah masuk 8 besar, tiba-tiba ada kebijakan swadana kampus. Sedianya empat calon akan diangkat menjadi dosen muda, ternyata hanya satu saja yang berhasil.
Bersyukur, bertahun-tahun kemudian malah menjadi gurunya para dosen. Gaya euy..
4. Jurnalis
Sejak kecil bunda senang nulis dan sudah ikut lomba sejak kelas 3 SD. Suka kirim naskah atau puisi juga ke media cetak saat itu. Makin terasah saat masuk pondok dengan adanya majalah dinding kelas, koran dinding asrama putri dan majalah pondok. Lomba demi lomba juga diusahakan ikut. Kursus jurnalistik yang diadakan setiap tahun, sampai tiga kali bunda ikut.
Kelas 5 Kuliyyatul Mu’allimat (setingkat 2 SMA) bunda diberi amanah menjadi pemimpin redaksi putri untuk majalah pondok, AQWAM namanya. Dari situ bunda sempat berpikir mau menjadi jurnalis. Kebayang senangnya bisa jalan-jalan keliling Indonesia bahkan ke luar negeri. Jadi menjelang kuliah, selain harapan bisa kuliah di UI, bunda juga cari-cari informasi ke kampus tercintas IISIP. Itu kampusnya calon jurnalis, ngetop deh di Jakarta mah.
Tapi berhubung diterima di UI, padam lagi deh impian jadi jurnalis. Apalagi saat tahu kalau menjadi jurnalis sekaligus ibu rumah tangga adalah hal yang berat. Jam kerja mereka tidak bisa diprediksi karena harus mengikuti sumber berita.
5. Pegawai kantoran
Barangkali ini impian banyak orang. Bisa bekerja di kantor yang nyaman dengan ruangan ber AC, punya penghasilan tetap, gaya hidup dan penampilan yang keren. Siapa yang nggak mau? Ide ini pun terpikirkan ketika bunda magang saat kuliah.
Magang pertama di RS Krakatau Steel, Cilegon, selama lima bulan. Di sini, selain tempatnya enak, jatah makannya yang super duper. Buat anak kos macam bunda, makan siang di kantin RS sangat dinanti-nanti. Tapi biasanya kami para pemagang, makan lebih siang karena kurang enak kalau makan mendahului karyawan.
Magang kedua di PLPK Pertamina Jakarta, selama tiga bulan. Ini tempatnya di gedung Patra, Kuningan. Tempat yang nyaman dan menyenangkan sekali. Mimpi dong mau kerja seperti ini juga. Sayangnya belum lulus kuliah, bunda sudah menikah dulu, jadi berat deh izinnya.
6. Desainer
Bersyukur masa di pondok kami mendapat pelajaran ketrampilan menjahit. Selain itu, ibu bunda selain menjadi guru juga menjahit. Klop deh. Ini salah satu skill yang bunda cukup bagus bahkan sempat menerima jahitan teman-teman. Baju-baju bunda selalu bunda desain sendiri, meski kadang modifikasi juga dari contoh-contoh yang ada di internet. Alhamdulillah banyak yang suka. Saat mengajar, seragam guru-guru juga bunda yang desain.
Tidak seperti lima pekerjaan impian di atas yang sudah kandas, menjadi desainer dan memiliki butik sendiri masih bunda pertahankan sebagai impian. Saat ini masih terus belajar cara menggambar desain yang menarik, mudah-mudahan satu waktu bisa punya modal untuk memulai butik.
Yang tak Diimpikan dan Menjadi Kenyataan
Mengalir seperti air, berkelak kelok kesana kemari, pada akhirnya bermuara pada satu bidang pekerjaan yang kemudian menjadi renjana bunda. Apa yang terlihat dan terteladani meski tak diingini, kemudian menjadi pekerjaan yang menyenangkan.
Bapak dan ibu bunda adalah guru sekolah formal. Bapak juga menjadi ustaz di kota kami dan memiliki banyak majlis ilmu hingga beliau wafat. Bunda sekolah di pondok pun mengambil jurusan Kuliyyatul Mu’allimat yang maknanya adalah sekolah guru. Meski kuliah di bidang kesehatan, pada akhirnya ketika punya kesempatan bekerja, menjadi guru adalah satu-satunya yang diizinkan suami.
Setelah sebelumnya menjadi guru non formal, akhirnya di tahun 2008 berkesempatan menjadi guru formal hingga mendapat amanah sebagai kepala sekolah. Pada akhirnya menyadari, bahwa menjadi guru adalah panggilan hati yang selama ini ternafikan. Dan hanya kata “menyenangkan” yang akan bunda jawab jika ditanya apa kesan menjadi guru.
Tidak pernah menyesal dan akan terus menekuninya hingga akhir hayat sebagaimana almarhum bapak. Apalagi jika mengingat pahala yang akan terus mengalir saat kita mengajarkan kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah saw
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Tidak ada yang namanya mengajar tanpa berbicara. Dan inilah renjana bunda kedua yakni menjadi pembicara. Sebagaimana halnya ketrampilan menulis dan menjahit yang bunda asah di pondok, kemampuan berbicara pun bunda gali di sini.
Yang pernah mondok pasti tahu namanya muhadloroh. Ini adalah ekstrakurikuler wajib bagi seluruh santri. Di acara inilah kemampuan berpidato para santri diselami dalam tiga Bahasa, yakni Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan tentunya Bahasa Arab. Ekskul wajib setiap pekan selama enam tahun mondok bahkan sampai ada ujiannya di kelas 6. Jadi wajar jika kebanyakan santri mahir berbicara di muka umum.
Alah bisa karena biasa. Kemampuan berbicara bunda justru teruji saat di luar pondok. Dimulai dari hal kecil, mengisi mentoring rohis adik-adik kelas di kampus. Kemudian mulai merambah mengisi kajian ibu-ibu, dilanjut majlis taklim hingga ke perkantoran, kampus, pabrik. Tantangan kembali meningkat saat diminta mengisi radio, di mana tidak ada audien yang membuat kita semangat. Di sana kita dituntut memainkan dinamika suara agar memikat pendengar. Akhirnya kebiasaan di radio itu jadi bermanfaat kini, saat diminta mengisi kajian secara online.
Dua renjana ini tidak akan lengkap tanpa menulis. Karena orang yang pintar adalah mereka yang mampu menuangkan pikirannya tidak hanya lisan tapi juga tulisan. Menulis membuat kita berpikir sebelum mengeluarkan opini. Dan enaknya menulis, bisa diedit. Beda dengan lisan yang jika tidak berhati-hati, sulit ditarik kembali. Jadi boleh dibilang, menulis itu menyeimbangkan.
Begitulah jalan hidup yang Allah gariskan. Pasti mommies juga pernah mengalami kan? Satu hal yang membuat sempurna adalah rasa syukur di hati dan keyakinan, Allah paling tahu yang kita butuhkan. Salam hangat
Wah, ternyata bu Lillah pernah pengen jadi polwan... alasannya pun anti mainstream, hehe.
BalasHapusCita-cita nomor 4 samaan bu, dulu kepengen jadi jurnalis biar bisa jalan2 terus hehehe. Sekarang nyrempet2 dikit lah ya aktivitasnya :D :D
Salam ta'dzim untuk bunda guru
BalasHapusAlhamdulillah kita yang pernah mondok pernah merasakan rasanya ditempa mental agar mandiri, termasuk belajar publik speaking di acara muhadhoroh ya bun.
Saya juga tuh Bu Lillah, kadang suka mikir juga, kok aku gini ya, tidak seperti teman2 yg mengejar impian mereka. Tapi tetep saja akhirnya sawang sinawang kan yak, alhamdulillah, bersyukur dg apa yg dimiliki hari ini
BalasHapusWaah dulu aku tomboy juga bu waktu kecil dan pengen jadi perawat. Dulu ada sepupu yang jadi perawat terus anggun banget. Beda deh kelakuannya sama aku yang dulu mirip cowok wkwkk
BalasHapusTapi makin ke sini gamau di kesehatan karena gak begitu suka biologi dan hafalan :D
Masya Allah bunda aku juga pengen jadi jurnalis tapi jurusan tidak kesitu hihi
BalasHapusSejak muda aku bukan anak ambis juga, makanya lumayan untuk fokus kemana. wkwkw
Bunda.. Banyak banget pengalamannya. Dari mulai sekolah kesehatan sampe jadi kepala sekolah
BalasHapuswaktu TK dulu, aku juga kalau ditanya cita-cita jawabnya mesti jadi dokter. tapi makin sini makin luas pandangannya soal profesi, sekarang malah jadi blogger wkwkwk
BalasHapus