![]() |
Sumber: id.wikipedia.org |
9 Summers 10 Autumns adalah film lama yang sudah masuk wishlist bunda untuk ditonton, akhirnya kesampaian juga tadi malam. Yup, apalagi kalau bukan karena encourage dari kelas blogspedia coaching untuk membuat konten ulasan film atau buku.
Sebenarnya ada buku Pulih dari Perih yang pengen banget bunda tulis resensinya, tapi berhubung membacanya akan makan waktu sementara kita berkejaran dengan deadline, jadilah pilihan menonton lebih masuk akal.
Bunda memilih judul ini, lagi-lagi karena pertimbangan unsur bapak di dalamnya. Buat bunda, tema bapak selalu menarik dan menggoda untuk dibahas, sebagaimana ulasan bunda di drama Korea 18 Again. Mungkin karena bapak bunda teramat istimewa, ya iyalah..secara cinta pertama.
Sinopsis Film
“Aku tidak takut gelap, Bu. Aku cuma takut miskin.”
Kalimat sederhana yang keluar dari mulut seorang anak kecil saat ditanya sang ibu apa tidak takut belajar dalam kegelapan. Tidak setiap anak yang belum genap sepuluh tahun mampu menghayati arti miskin. Hanya mereka yang cerdas dan perasa yang bisa melakukannya.
Film yang diangkat dari sebuah novel berjudul 9 Summers 10 Autumns: dari Kota Apel ke the Big Apple adalah kisah nyata yang dialami sendiri oleh penulisnya, Iwan Setyawan. Perjalanan hidup sejak dia lahir hingga mendulang kesuksesan di jantungnya Amerika, disajikan dengan apik oleh sang sutradara, Ifa Isfansyah.
Meski tak semengharu biru film dengan tema yang sama seperti Laskar Pelangi misalnya, tapi kepiawaian dalam pengambilan gambar dan kekuatan tema besar yang diusung, membuat film ini tidak membosankan untuk ditonton.
Iwan kecil hidup di sebuah rumah kecil di kaki gunung Panderman. Di rumah dengan ukuran 6x7 itu, ia harus berbagi dengan enam anggota keluarga lainnya. Selain bapak dan ibu, ada dua kakak perempuan dan dua adik perempuan yang tidur bersama di sebuah kamar. Iwan harus merelakan dirinya tidur di kaki dua orang kakaknya.
Tertakdir sebagai satu-satunya anak lelaki dalam keluarga, membuat bapak menaruh harapan besar pada Iwan. Bapak memimpikan banyak hal tentang seorang anak lelaki yang ternyata tidak ada pada Iwan. Iwan kecil hanya cinta belajar dan diam di rumah. Jauh dari gambaran anak lelaki yang kuat, tahu permesinan dan banyak bermain di luar rumah.
Digambarkan dalam film, bagaimana Iwan kecil harus dibujuk lama oleh ibu dan ditemani saat pertama masuk sekolah. Atau saat ia dirisak oleh teman sekolahnya, justru kakaknya yang maju dan memukul temannya. Puncaknya adalah saat ia didaulat dari sekolah untuk mengikuti lomba menyanyi, di atas panggung ia hanya terdiam dan kemudian berlari sambil berteriak memanggil ibu.
Iwan tumbuh besar dengan mencintai matematika yang akhirnya menghantarkannya diterima di IPB lewat jalur PMDK (tanpa test). Meski awalnya dia gamang karena bapak belum mengizinkan, namun akhirnya justru bapak yang berkorban besar dalam mewujudkan cita-cita Iwan dengan menjual angkot kesayangannya sebagai modal kuliah Iwan.
Setelahnya cerita bergulir dengan lebih cepat. Iwan melalui studinya di IPB dengan mulus dan selalu mendapat nilai terbaik. Mulai muncul banyak adegan lucu di masa ini. Bagaimana ia menyeleksi teman kosnya, persis sama seperti saat ia diseleksi kakak tingkatnya dahulu. Atau momen saat ia dengan kemampuan analisisnya, mampu menaikkan omset penjualan bu Agus, penjual pecel lele dekat kosnya ketika ia sudah bekerja di Jakarta.
Merasa sudah tidak mengalami perkembangan dalam bekerja di Jakarta, pada akhirnya Iwan mampu meraih banyak mimpinya ketika ia diterima bekerja di New York hingga mencapai posisi direktur di sana. Tanpa terasa, sembilan musim panas dan sepuluh musim gugur ia lalui di New York tanpa sekali pun pulang ke kampung halaman.
Yang kemudian menjadi pertanyaa, mengapa butuh waktu selama itu untuk kembali ke rumah. Apalagi mengingat tradisi di Indonesia yang biasanya mudik satu tahun sekali. Ternyata jawabannya ada pada hati Iwan yang belum mampu berdamai menerima bentuk cinta bapak.
Film kemudian ditutup dengan adegan kepulangan Iwan kembali ke Indonesia. Rumah reotnya sudah direnovasi, bahkan bapak memiliki kesibukan baru dengan menjadi juragan kos-kosan. Seluruh anak bapak akhinya menjadi sarjana dan memiliki rumah masing-masing di mana setiap keponakannya ia pastikan memiliki kamar. Iwan akhirnya mampu menambal semua kekurangan yang pernah ada di kehidupannya.
Facts about the Movie
1. Para Pemain
Tidak tanggung-tanggung, film ini mendapuk Alex Komang yang terkenal dengan kekuatan karakternya sebagai bapak dan Dewi Irawan sebagai ibu. Tokoh Iwan kecil dimainkan dengan apik oleh Shafil Hamdi Nawara, sementara tidak kalah mengejutkan ketika Ihsan Tarore yang lebih dikenal sebagai penyanyi lulusan Indonesia Idol memerankan Iwan dewasa.
Kakak perempuan diperankan oleh Dira Sugandi dan Aghni Pratista. Meski tak banyak dialog yang mereka mainkan, tapi lagi-lagi karakter yang kuat muncul dalam scene-scene yang mereka tampilkan.
Kehadiran sekilas Ade Irawan, Ria Irawan, Ence Bagus dan Epy Kusnandar juga begitu memikat dan memberikan nilai tambah di film inspiratif ini
Ihsan Tarore dan Dira Sugandi juga turut menyanyikan soundtrack film ini yang berjudul "Bawalah Aku Kembali".
2. Proses Produksi (biaya, produsen, pendapatan, waktu)
Bertempat di empat kota yakni Batu-Malang, Bogor, Jakarta dan New York, film ini diproduksi selama kurang lebih tiga bulan. New York menjadi pemandangan yang istimewa dengan tempat –tempat yang memang sudah menjadi ikon kota ini.
Diproduksi oleh Angka Fortuna Sinema, film 9 Summers 10 Autumns ini diberkati selama proses syuting. Cuaca di keempat kota tempat syuting sangat bersahabat, bahkan saat di New York terjadi badai Sandy yang membuat suasana kota New York menjadi lebih lengang dari biasanya.
3. Penghargaan
Melansir dari laman Wikipedia, berikut penghargaan yang diraih film ini:
Film terbaik - Festival Film Internasional Bali 2013
Pilihan resmi - Festival Film Internasional Kamboja 2013
Festival Film Bandung 2013
Pemeran Pendukung Pria Terbaik - Alex Komang
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik - Dewi Irawan
Penata Seni Terbaik - Eros Eflin
Nilai Moral Film 9 Summers 10 Autumns
· Bentuk Cinta Ayah
Tidak diragukan lagi, inilah yang terpampang terang benderang dari film ini, yakni cinta seorang ayah dalam bentuk yang tidak diidamkan anak, sebagaimana stereotype ayah kebanyakan. Kesan kaku dan tidak intim, membuat Iwan sulit mencintai bapak. Begitu pula bapak yang tidak menemukan anak yang diinginkannya.
Sebuah kalimat yang Iwan lontarkan saat bapak memarahi ibu, karena tidak becus mendidik Iwan menjadi anak lelaki. “Aku tidak bisa memilih jadi anak siapa, seperti juga bapak yang tidak bisa memilih anak yang bapak mau.”
Karena sebab itu, Iwan memiliki sebuah quotes yang terlontar beberapa kali dalam film ini.
“Kita tidak bisa memilih masa kecil kita, tapi kita bisa menentukan masa depan.”
Bapak yang diperankan sangat natural oleh aktor kawakan Alex Komang, pada dasarnya memiliki cinta yang sangat besar terhadap anak-anaknya. Dalam kondisi yang sulit, sebagai supir angkot, bapak bela-belain beli sepeda BMX bekas untuk Iwan. Tapi justru Iwan kurang bersyukur dengan menyatakan keengganannya menaiki sepeda yang sudah berkarat.
Iwan baru menyadari cinta bapak ketika ia dibawa ke seorang pengusaha yang mau membeli angkot bapak. Uang dalam plastik hitam kemudian ia berikan kepada Iwan sebagai tanda persetujuannya Iwan boleh kuliah di Bogor. Kemudian bapak pergi meninggalkan angkotnya tanpa menoleh lagi.
Kebanggaan seorang bapak diperlihatkan di akhir saat Iwan telah kembali dari Amerika dan mengadakan seminar motivasi di kota Batu. Meski saat diwawancarai wartawan, bapak masih merendah bahwa semua kesuksesan Iwan adalah jerih payah Iwan sendiri.
· Kekuatan Hati Ibu
Ibu Iwan hanya tamatan sekolah dasar. Maka pada satu titik, ibu pernah menangis karena merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Tapi kemudian Iwan datang dan menguatkan sambil mengatakan bahwa ia akan menjadi orang sukses agar ibu bahagia.
Film ini menunjukkan kekuatan ibu yang seharusnya. Bagaimana Iwan kerap kali menemukan ketenangan setelah menelpon ibu. Semua masa-masa membahagiakan, seperti lulus sidang skripsi, gaji pertama dan diterima bekerja di New York, Iwan selalu menelpon ibu.
Dan begitulah stereotype ibu, menjadi penyeimbang dari karakter bapak.
· Sibling’s Goal
Tidak hanya bercerita tentang hubungan Iwan dengan bapak ibu. Tapi kehebatan hubungan antar saudara terlihat kuat di film ini. Bagaimana mbak Inan pernah membelanya dan menonjok teman Iwan yang merundung Iwan. Atau mbak Isa yang merelakan tidak kuliah dan memilih mengajar privat supaya adik lelakinya bisa kuliah.
Dan itu semua kemudian dibalas Iwan sehingga semua kakaknya bisa menjadi sarjana meski terlambat.
· Tujuan yang Jelas
Iwan kecil hingga SMA hanya punya mimpi sederhana, yaitu bisa memiliki kamar sendiri yang bisa ia desain sesuka hati. Hal itu tergambar saat ia menumpang salat di kamar adik temannya. Dengan pandangan berharap, ia menelusuri setiap sudut dari kamar adik temannya yang dipenuhi semua atribut lelaki.
Keinginan itu mulai terwujud saat ia memiliki apartemen sendiri di New York. Satu kalimat yang dia pegang dari bapak,”Dadi wong lanang ki kudu kendel.”
Hanya orang berani yang bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.
Masyaallah, bunda tidak merasa sia-sia meluangkan 114 menit untuk menonton film 9 Summers 10 Autumns ini. Hebatnya tim produksi yang mampu menghadirkan suasana tahun 70 dan 80an dengan apik. Kita diajak bernostalgia dengan TV tabung, mobil sedan jadul, layar misbar juga wartel yang dulu pernah fenomenal. Jadi tunggu apa lagi? Film bertaburan penghargaan ini layak banget ditonton.
MasyaAllah film yang sangat bagus, aku terharu membaca resensinya. Film keluarga yang sangat bagus di tonton dan mengulik dari segala sisi. Semoga di lain kesempatan bisa nonton film ini. Terimakasih atas ulasannya bu
BalasHapusSama2 mbak Nur. Bunda juga butuh waktu lama buat dapat gratisan film ini yang full movie.
HapusDan butuh lebih lama lagi waktu untuk menontonnya.
Suka sama kutipan "kita tdk bs memilih masa kecil, tp bs menentukan masa depan" 🥺
BalasHapusKu terharu bunda baca review mu, lengkap banget, jd penasaran sama filmnya.
Ku kira ini film luar negeri, Krn kover nya ada aura² punya luar, dan ternyata karya anak bangsa 😍
Semoga bs kesampaian nonton dehh
Siip...semoga bisa berkesempatan menyaksikan film anak bangsa yang memang cukup lama tinggal di luar negeri.
HapusLho aku kita juga film luar negeri dari judulnya. Jebul film kita sendiri to, boleh nih masuk waiting list tonton
BalasHapusHahaah...lihat covernya ada Alex Komang, pasti punya Indonesah.
HapusBagus bu, sekalian belajar parenting.
Sudah baca bukunya lama banget dan bukunya juga sudah di sumbangin ke perpus suatu sekolah, tapi nggak tahu kalau ada filmnya. 😃 semakin membuatku terlihat lebih suka baca di banding nonton.
BalasHapusKalau bunda, sebenarnya lebih suka nonton sebelum baca.
HapusSoalnya kalau baca dulu, sering kecewa karena film kadang tidak menampilkan scene yang bunda suka.
Jadi ngebanding-bandingin gitu..
Uwoo, baru tahu ada buku dan film ini, ke mana saja diriku...
BalasHapusCocok nih buat dirimu yang anak milenial dan pendidik
HapusTernyata buku ini difilmkan yaa. Aku juga selalu tertarik dengan buku atau film tentang Bapak. Makasi bu Lillah, ulasannya komplit dan menyegarkan mata 🤩
BalasHapusAlhamdulillah...
BalasHapusMudah-mudahan sempet nengok filmnya juga kapan2