Serta merta saya akan menjawab, "Teaching is my passion"
Meski sepanjang empat puluh tahun hidup saya, Allah beri kesempatan mengajar formal hanya 6 tahun, namun sejatinya dunia pendidikan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari diri saya.
Rupanya profesi Bapak dan ibu sebagai pendidik tanpa terasa telah mewarnai hidup anak2nya, berkutat dengan buku2, membantu koreksian mereka menjadi pengalaman seru tersendiri. Hingga satu waktu, selepas magrib, sambil bertelekan di atas karpet, almarhum Bapak pernah mengatakan, "Kalau bisa, nanti sudah besar Lillah jadi dosen ya...khan kalau guru TK sampai SMA, Bapak udah pernah ngerasain."
Kata2 yang hingga kini terus saya ingat, meski tak tahu bilakah terwujud.... :)
Entah karena harapan itu kepada anak2nya, yang kemudian menghantarkan saya sekolah di Kuliyyatul Mu'allimat di sebuah pesantren di Solo. Enam tahun sekolah persiapan menjadi guru, pengalaman mengajar pertama saya di depan kelas adalah saat kegiatan 'amaliyyatyt tadris (micro teaching) di kelas akhir. Dua kali praktek mengajar selama dua semester.
Pengalaman kedua yang hanya sanggup saya lakoni selama empat bulan adalah saat wiyata bakti di Madrasah Diniyyah Awwaliyah dekat rumah. Padahal syarat pengambilan ijazah di pondok adalah membawa bukti surat selesai bertugas di tempat yang telah ditunjuk pondok utk mengajar selama setahun... :)
Tapi kegiatan di sekolah persamaan dan bimbel, membuat saya tak mampu membagi waktu dengan mengajar.
Saat kuliah, pengalaman mengajar saya praktis hanya mengajar privat2 dan menjadi asisten dosen yg hanya sesekali membantu mahasiswa jika mereka bertanya atau saat memberi review menjelang ujian. Di tahap ini juga saya mulai menjajal kemampuan menjadi murobbi. Lagi2 pengalaman baru yang menyenangkan meski bersusah payah melatih lisan untuk dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar... :)
Pasca menikah, seperti akhwat kebanyakan...saya pun mengisi waktu dengan mengajar TPA. Disini saya mulai berpikir tentang bagaimana menjadi guru yang menarik dan dirindukan siswa. Saya pun mulai belajar tentang pengendalian siswa dalam lingkaran karena tdk ada kelas tentunya.
Hingga saat si sulung berusia 8 tahun, tiba2 muncul keinginan mengajar formal. Toh saya pun bisa menemaninya seharian di sekolah yang sama.
Sekolah yang menyenangkan dengan keakraban yang dibangun luar biasa di antara guru dan kepala sekolah, membuat saya merasa nyaman. Tahun pertama saya dipercaya menjadi wali kelas 8, meski sempat diprotes ortu siswa yang notabene juga guru. Protesnya adalah bahwa untuk menjadi walas, minimal guru harus punya pengalaman dua tahun mengajar. Protes yang saya terima dan sampaikan
kepada kepala sekolah. Bahkan kemudian Bpk. Anshori ini banyak mengajarkan saya ttg manajerial kelas dan sekolah.
Tahun kedua bahkan kepsek mempercayakan amanah wakil kepala bidang kesiswaan di pundak saya, amanah yang tidak mudah karena lingkup pekerjaannya adalah sejak awal siswa hadir hingga mrk kembali pulang. Namun dukungan rekan2 kerja yang luar biasa alhamdulillah memudahkan segalanya.
Tahun ketiga adalah tahun yang paling berat, setelah 8 bln diminta menjadi wakil kepala sekolah, tiba2 di bulan ke sembilan diangkat sebagai kepala sekolah. Ini bukan musyarrofah (kemuliaan), tapi ini mukallafah (tanggung jawab). Saya harus siap menjadi pemimpin dengan segenap kelemahan yang saya miliki.
Empat tahun pun berlalu sebagai kepala sekolah hingga tiba saatnya saya resign karena harus pindah domisili.
Ibarat sebuah perjalanan, barangkali di mata orang saya sudah mencapai puncaknya. Namun entah mengapa, saya justru merasa belum memulai. Masih banyak PR besar di pekerjaan yang saya lakukan. Saya merasa belum optimal menjadi guru yang bisa menginspirasi, merasa malu harus mengakui siswa berhasil krn ada campur tangan saya di dalamnya.
Terlalu banyak hal yang belum saya pelajari...namun selalu jika ditanya hal yang sama, saya akan menjawab...teaching is already my passion.
Posting Komentar
Posting Komentar